top of page

SELAMAT JALAN, KOMPONIS PAUL GUTAMA SOEGIJO

Pada pagi hari tanggal 8 Januari 2019 penulis menerima kabar dari seorang pianis kenamaan Indonesia Aisha Sudiarso Pletscher melalui Whatsapp. Kabar tersebut tentunya berhubungan dengan musik, namun bukan kabar tentang konser, lokakarya dan lain sebagainya, tetapi kabar duka atas kepulangan Paul Gutama Soegijo salah satu komponis Indonesia generasi 60an yang menghabiskan masa tuanya di Jerman. Kepergiannya menambah deretan kehilangan atas tokoh-tokoh musik hebat dari Indonesia setelah sebelumnya Indonesia ditinggal pergi oleh Slamet Abdul Sjukur dan Suka Hardjana.

Mungkin tidak banyak yang tahu siapa itu Paul Gutama Soegijo, khususnya generasi milenial dikarenakan satu dan lain hal selain selama akhir dari hidupnya beliau menetap di Jerman dan jarang bersentuhan dengan generasi muda. Paul Gutama Soegijo lahir di  Yogyakarta pada tahun 1934. Dia memperoleh diploma untuk violin dan musik teori dari Amserdam Conservatory, serta belajar komposisi dengan Boris Blacher di Hochschule für Musik in Berlin. Dan membentuk grup gamelan yang diberi nama Banjargruppe sekitar tahun 1973 di Jerman. Dikarenakan pada waktu itu sulit untuk mengumpulkan orang untuk memainkan musik yang masih “asing” di telinga mereka (informasi ini penulis dapat dari perbincangan penulis dengan muridnya yang bernama Thomas Zunk melalui surat elektronik. Thomas Zunk juga tercatat sebagai salah satu anggota dari Banjargruppe) lalu Gutama memasang iklan pada sebuah majalah budaya lokal untuk menarik minat orang-orang untuk bergabung. Pada fase bersama Banjargruppe ini juga Paul Gutama mulai menawarkan konsep karya yang iya beri nama “Musik der neuen Ursprünglichkeit ( dalam bahasa Jerman)”, ”New Source Music ( dalam bahasa Inggris)” atau dalam bahasa Indonesia dia menyebutnya sebagai Musik Leluhur Baru.

Sebagai komponis dari generasi milenial, penulis mempunyai pengalaman yang unik yang berhubungan dengan karya-karya dari Paul Gutama Soegijo. Pada tahun 2018 yang lalu penulis sempat mendapatkan hibah untuk mengikuti studi singkat di University of Music and Performing Arts Graz, di bawah bimbingan Prof. Beat Furrer. Selama studi di sana penulis juga mengikuti kelas dari Prof. Georg Friedrich Haas, dan pada satu hari terjadi perbincangan penulis dengan Prof. Georg Friedrich Haas dimana dia ingin sekali mendengarkan karya-karya musik dari komponis “kontemporer” Indonesia dan dia menunjuk penulis untuk mempresentasikan tentang itu. Dan dari sinilah petualangan menjelajahi karya-karya dari komponis Indonesia dulu dan kini dimulai termasuk mencari tahu karya-karya dari Paul Gutama Soegijo.

 

Saat itu penulis hanya mempunyai daftar-daftar nama para komponis Indonesia dari buku-buku-buku yang membahas tentang para komponis Indonesia seperi dari buku Dieter Mack yang berjudul “Zeitgenössische Musik In Indonesien, Zwischen lokalen Traditionen, nationalen Verpflichtungen und internationalen Einflussen”. Dari situ penulis menemukan nama Paul Gutama Soegijo laggi yang sebelumnya penulis hanya tahu dari buku-buku Suka Hardjana. Singkat cerita penulis mulai berburu dokumentasi audio dari karya Paul Gutama Soegijo, namun penulis hanya bisa menemukan satu karya di YouTube yang berjudul “Klavierstudie” untuk piano tunggal, sungguh sulit sekali mencari dokumentasi karya-karya beliau. Namun, perburuan terus berlanjut yang mempertemukan penulis dengan piringan hitam dari tahun 1972 di perpustakaan University of Music and Performing Arts Graz yang berisikan karyanya yang berjudul “Landschaften” untuk ansambel campuran dan koor.

Kedua karya ini dekat dengan model kekaryaan komponis-komponis Eropa pada waktu itu. Selain dari itu, dari buku Dieter Mack penulis menemukan konsep New Music Source atau Musik Leluhur Baru yang Paul Gutama Soegijo tawarkan (pada saat itu penulis belum mendengar contoh karyanya dari fase ini). Pada bukunya Dieter mengkutip pernyataan Paul Gutama Soegijo yang menjelaskan tentang konsepnya ini, berikut adalah kutipan tersebut:

 “I am practicing deconstruction. A further step in the innovative process is made when structural concept are freed from their ethnographic context and taken as abstract, emerge as objects of compositional speculation. From an ethnographic point of view, Imbalan is the sign of a new section in a Gending, from instrumental and compositional point of view Imbalan is a practical method of achieving fast figuration on heavy percussion instrumens. To the gamelan instruments I later added percussion from other countries and culture. Here also, before using them innovatively in a composition, first of all I made a through investigation of indigenious structure and instrumental techniques. For me, this is imperative. The reason that I want my innovation, always through the use of inner resources and the process of self-renewal, to burst forth from the innermost heart of autochthonous. This is in short New Source Music.“.

 

Beberapa bulan kemudian (setelah presentasi tentang musik “kontemporer” Indonesia telah penulis lakukan), penulis bertemu dengan Thomas Zunk salah satu murid Gutama yang juga pernah bergabung bersama Banjargruppe di Facebook. Dari sini terjadi perbincangan panjang yang pada akhirnya kami saling bertukar koleksi karya dari Paul Gutama Soegijo. Pada saat itu penulis mengirimkan karya yang penulis temukan di Graz yang berjudul “Landschaften” dan Thomas Zunk mengirim 2 karya Gutama “Kotekan I” dan “Bidadari Tampil” dari periode bersama Banjargruppe dan sekaligus dari periode Musik Leluhur Baru, dari kedua periode (periode sebelum Musik Leluhur Baru yang diwakili oleh karya “Landschaften” dan “Klavierstudie” serta karya-karya dari periode Musik Leluhur Baru “Kotekan I” dan “Bidadari Tampil”) ini saja penulis menemukan bahwa Gutama pernah mengalami pergeseran gaya kekaryaan!, sungguh menarik. Selain itu Thomas Zunk juga memberikan tulisan singkat mengenai perjalanan musik Paul Gutama Soegijo, informasi tersebut meliputi tentang sejarah bagaimana Banjargruppe terbentuk, pergaulan Gutama dengan Gruppe Neue Musik Berlin, dan lain sebagainya.

Mungkin banyak orang berkata apa pentingnya memainkan karya-karya mereka apalagi sampai menjelajahi dan mendengarkan karya-karya mereka juga mempelajarinya?. Ya mungkin tidak penting, tapi dari pengalaman diatas penulis mendapatkan banyak hal seperti mengetahui sejarah panjang komposisi musik di Indonesia dan akhirnya bertemu dengan karya-karya dari Paul Gutama Soegijo. Dari situ penulis juga pada akhirnya penulis mengenali diri melalui kesejarahan panjang yang telah terjadi pada dunia komposisi Indonesia. Hal ini menjadi media refleksi dimana posisi penulis berada dan berasal dan akan kemana selanjutnya?. Selamat jalan pak Paul Gutama Soegijo, meskipun penulis belum pernah bertemu langsung dengannya, tapi karya-karya dan pemikirannya telah membuka sedikit gerbang untuk generasi selanjutnya. Dan tulisan ini saya persembahkan sebagai penghormatan terakhir untuk beliau.

 

 

Citayam, 8 Januari 2019.

SEPTIAN DWI CAHYO

bottom of page