FENOMENA KUTIPAN DI DALAM MUSIK MASA KINI.
Mengkutip karya orang lain atau materi musik lain di luar karyanya sendiri merupakan salah satu cara berkomposisi yang sering dilakukan oleh komponis musik masa kini. Walaupun cara ini bukan hanya terjadi pada karya-karya musik masa kini dan juga terjadi pada era-era sebelumnya seperti dimana karya dari F. Tarrega yang berjudul Fantasia on Theme from La Traviata yang mana dia berangkat dari tema melodi opera La Traviata dari Guissepe Verdi, namun konteks penggunaan teknik kutipan pada musik masa kini ini menjadi sangat menarik dikarenakan berbagai tujuan yang melatari penggunaan cara ini. Menurut hemat penulis, dari beberapa gejala yang terjadi penggunaan teknik kutipan pada musik masa kini ini terbagi menjadi beberapa model yaitu:
-
Kutipan sebagai apresisasi terhadap masa lalu.
-
Kutipan sebagai materi dalam berdialektika.
-
Kutipan sebagai media perlawanan.
Berdasarkan beberapa model penggunaan teknik kutipan di atas, kita dapat mulai menelurusi perjalanan perkembangan penggunaan teknik kutipan ini dari beberapa komponis yang juga menjadi tonggak dari perkembangan gaya dan pemikiran yang melibatkan teknik kutipan sebagai penghantar menuju “estetika” kekaryaan mereka.
Di bawah ini penulis akan membatasi contoh hanya berdasarkan dari 4 komponis Seperti Luciano Berio, Alfred Schnittke, Helmut Lachenmann dan John Oswald walaupun sebenarnya masih banyak komponis musik masa kini yang dapat dibahas untuk tema kutipan ini seperti karya dari George Crumb dan lain sebagainya. Dalam hal ini penulis akan mulai menulusuri fenomena kutipan di dalam music masa kini ini dari karya Luciano Berio yang berjudul ,,Sinfonia” gerakan ketiga.
Pada karya ini Luciano Berio banyak mengutip musik dari abad ke 19 dan ke 20. Beberapa pengamat memberikan label “super collage” kepada karya Luciano Berio ini dikarenakan Berio banyak mengkutip karya-karya dari komponis lain di dalam karya ini, meliputi karya dari Gustav Mahler (Symphony No.2 Movement III. In ruhig flieBender Bewegung), Alban Berg, Claude Debussy, Maurice Ravel, Igor Stravinsky, Anton Webern dan Karlheinz Stockhausen. Berikut salah satu contoh kutipan yang Luciano Berio lakukan di dalam karyanya ,,Sinfonia” gerakan ketiga:
Kutipan karya Berg pada karya Luciano Berio
Sinfonia Third Movement.
Luciano Berio (Sinfonia Movement III)..
Setelah Luciano Berio, kita juga dapat melanjutkan penelusuran jejak-jejak pengggunaan teknik kutipan ini di dalam karya Alfred Schnittke. Alfred Schnittke diketahui sebagai pelopor dari music polystylistic (baca: multi gaya) dan di dalam tulisannya yang berjudul ”Polystylistic Tendencies in Modern Music” Alfred Schnittke memaparkan dua model teknik kutipan, kedua model kutipan tersebut dibagi menjadi model quotation (baca: kutipan) dan allusion (baca: kiasan).
Menurut Alfred Schnittke, kutipan mewujudkan dirinya dalam sebuah rangkaian utuh, yang bermula dari pengkutipan secara stereotip elemen-elemen mikro dari gaya tertentu, pengkutipan elemen-elemen dari era yang berbeda atau elemen musik tradisi bangsa tertentu (karakteristik melodi, intonasi, sekuen harmoni, formulasi kadensial), hingga kuotasi penggarapan ulang, atau pseudo-kuotasi. Sedangkan prinsip kiasan mewujudkan diri dalam penggunaan aspek-aspek yang tidak kentara dan mengambang di tepi kutipannamun tidak benar-benar menyebrang.[1]
Berangkat dari dua model kutipan yang Alfred Schnittke jabarkan di atas, kita dapat memperlebar wacana penggunaan teknik kutipan ini ke arah yang lain, dari yang hanya sebuah cara untuk mengapresiasi masa lalu ataupun mengapresiasi musik-musik dari tradisi bangsa lain ke arah penggunaan teknik kutipan sebagai media perlawanan. Pada karya model Neoclassicism, kita dapat mendengarkan bagaimana kutipan model kedua yaitu model kiasan digunakan sebagai media perlawanan, perlawanan ini berbentuk sebuah reaksi atas penolakan penggunaan kromatik yang berlebihan dan aspek lainnya dari gaya musik romantik dan musik atonal.[2] Namun neoclassicism juga bukan sebuah cara untuk membangkitkan kembali gaya musik klasik. Seperti istilahnya, Neoclassicsm hanya mengadaptasi ciri-ciri gaya musik klasik seperi tekstur yang jelas, seimbang, absolut (melawan musik programatik romantik) dan lain sebagainya. William Austin dengan merujuk kepada karya neoclassical dari Stravinsky menulis:
“They presumed sophistication. They alluded not simply to Bach and Beethoven, but to separate traits of the calssical style. They treated those traits with such dry irony,such jerky stiffness, and such evident distortion that even a symphatetic listener needed several hearings to penetrate beneath the wit and skill to the glowing warmth of the melodies and the subtle continuity of the forms".[3]
Setelah menelisik penggunaan model kutipan yang Alfred Scnittke tawarkan, kini penulis ingin beranjak ke arah model kutipan yang lain yang mana kutipan-kutipan yang digunakan didistrosi sedimikian rupa bahkan kutipan yang diambil bukan semata-mata hanya unsur melodi namun merambah ke material yang lain. Tokoh yang akan penulis bahas di sini adalah Helmut Lachenmann dan konsepnya yang ia beri nama “dialectical structuralism”. Seperti yang Lachenmann katakan bahwa motto dari dialectical structuralism ini adalah ”back to music! And its claims to be returning “at last” to humanity, giving expresssion to human emotion and aspiration by using off the shelf products from the supermarket tradition and appealing to the kinds of emotions which go down well in a society obsessed with tradition and have long since been subjected to largescale exploitation by commercial music business”.[4]
Dengan konsep ini sepertinya Lachenmann ingin “mengkritisi” para kaum struktural (baca: serialisme) yang hanya berfokus pada material musiknya saja dan menjadi tren saat itu tanpa menghiraukan masyarakat yang masih belum bisa dan terbiasa dengan cara-cara yang mereka tawarkan pada waktu itu.
Ia juga mengatakan bahwa “Structure [is] a dialectical object of perception, inasmuch as the musical meaning and aural experience of individual sounds or their elements were not determined just by their selves but…by their relationship to their immediate and wider environment…created by the composer and for which he assumed responsibility”[5]. Melalui “off the shelf products from the supermarket tradition” dan taksonomi bebunyian yang ia buat, Lachenmann sepertinya ingin membuat sesuatu musik yang baru tanpa lepas dari “masyarakatnya” seperti pada karyanya yang berjudul EinKindersiel dimana pada gerakan pertama “Hänschen klein“ dimana Lachenmann berangkat atau “mengkutip” kontur ritme dari folk song Jerman yang sekaligus lagu anak-anak yang berjudul ,,Hänschen klein“. Namun ia mendistorsinya dengan sedimikian rupa sehingga karya ini terkesan tetap menjadi sesuatu yang baru namun pendengar tetap dapat mendengarkan provokasi kutipan yang ia gunakan.
Folk song Jerman ,,Hänschen klein“.
Kutipan dari folk song Jerman ,,Hänschen klein“ yang sudah “didistorsi”.
Penggunaan teknik kutipan lainnya dengan konteks yang berbeda dapat kita temui di karya John Oswald dalam albumnya yang berjudul Plunderphonic yang dikeluarkan pada tahun 1989. Sebelumnya, pada tahun 1985, John Oswald juga menulis esai yang berjudul “Plunderphonics, or Audio Piracy as a Compositional Prerogative”. Di dalam esainya itu John Oswald menulis “Piracy or plagiarism of a work occur, according to Milton, ‘if it is not bettered by the borrower.’Stravinsky added the right of possession to Milton’s distinction when he said ‘A good composer does not imitate; he steals”.[6] Dan menurut Greg Kot, Plunderphonic sendiri adalah musik apa pun yang dibuat sepenuhnya dari rekaman audio yang ada, termasuk materi berhak cipta, dan lalu diubah dalam beberapa cara untuk membuat komposisi baru[7].
Pada album Plunderphonic yang di rilis pada tahun 1989, John Oswald sendiri menggunakan beberapa materi lagu dari album orang lain sebagai materi karyanya. Materi yang diambil dari album rekaman orang ini lalu dimodifikasi sedimikian rupa sehingga terdengar sudah jauh dari lagu asli. Salah satu karya di dalam album ini yang berjudul ,,Dab” mengambil materi dan memodifikasi serta “meremukkan” rekaman lagu Michael Jackson yang berjudul ,,Bad” menjadi sebuah karya yang baru. Dan pada Desember tahun 1989 pihak Canadian Recording Industry Association & CBS Records yang mewakili Michael Jackson mengambil langkah untuk menghentikan distribusi album ,,Plunderphonic” milik John Oswald. Dan saat ini para penganut “aliran” Plunderphonic “menempatkan” diri mereka untuk memprotes apa yang mereka anggap sebagai keketatan undang-undang hak cipta.
Seperti yang telah penulis paparkan di atas, bahwa terdapat beberapa contoh penggunaan teknik kutipan yang digunakan sebagai penghantar “estetika” kekaryaan dari masing-masing komponis yang telah penulis bahas. Mulai dari mengkutip materi karya orang lain secara gamblang hingga mengkutip rekaman audio karya orang laindan memanipulasinya dengan sedimikian rupa hingga bentuk aslinya hamper tidak dapat terdeteksi.
Berdasarkan fenomena tersebut, mungkin beberapa orang akan mengatakan bahwa mengkutip karya orang lain atau bahasa musik lain adalah sesuatu hal yang tidak kreatif, namun menurut hemat penulis bahwa yang terjadi justru sebaliknya, karena langkah mengkutip ini merupakan kendaraan yang membantu komponis untuk merealisasikan aksi kreatifnya dalam mencapai “estetika” yang ingin mereka tuju dengan berbagai variannya.
CITAYAM, 18 Februari 2018.
DAFTAR TAUTAN AUDIO/VIDEO KARYA
-
John Oswald (Plunderphonic album):
-
Helmut Lachenmann (EinKinderSpiel):
https://www.youtube.com/watch?v=tvu_kMbZsZc
-
Luciano Berio (Sinfonia movement 3):
-
Gustav Mahler (Symphony No. 2 Mov III)
https://www.youtube.com/watch?v=KgWjmQs6Umk
[1]Alexander Ivashkin, A Schnittke Reader.(Bloomington: Indiana University Press, 2002), Hal 88.
[2] Stefan Kostka, Materials and Techniques of Twentieth-Century Music. Third Edition. (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2006) hal. 158.
[3] Ibid, 185.
[4] Helmut Lachenmann, “On Structuralism”. Contemporary Music Review 12, Part 1, 1995, 93.
[5] Helmut Lachenmann, “On Structuralism”. Contemporary Music Review 12, Part 1, 1995, 97.
[6] John Oswald, “Plunderphonics, or Audio Piracy as a Compositional Prerogative,” diakses dari http://www.plunderphonics.com/xhtml/xplunder.html
[7]Greg Kot, Ripped: How the Wired Generation Revolutionized Music (New York: Scribner, 2009), 164.