KOMPONIS INDONESIA MEMOTRET LOKALITAS
Catatan Konser Seri Komponis Muda October Meeting 2018
Corak lokalitas menjadi sangat dominan mewarnai dimensi kekaryaan musik masa kini. Konser ini menjadi “cermin,” sekaligus besutan serius untuk mempertahankan dan mengembangkan potensi kreatif yang beragam.
Tahun 2018 merupakan tahun ketiga dari penyelenggaraan agenda musik October Meeting yang digagas Art Music Today (Yogyakarta) dan Trace 21 (Belanda). October Meeting adalah sebuah ruang pertemuan musik yang menampilkan karya-karya musik masa kini dari komponis-komponis Indonesia maupun luar negeri. Telah selesai diselenggarakan dari tanggal 7 hingga 11 Oktober di Yogyakarta.
Pada tahun ini October Meeting mengusung tema “Reconnect” yang mempunyai cita-cita untuk menghubungkan kembali komponis antar generasi, musisi, dan juga “stakeholder” yang berkecimpung di wilayah musik, khususnya musik kontemporer (baca: musik masa kini).
Acara dilangsungkan di beberapa tempat, yaitu Tembi Rumah Budaya Yogyakarta, Pendhapa Art Space, Gayam 16, Kita Suka Kitchen, dan Rumah Budaya Siliran. Selain konser pada tiap malam, ada pula agenda lain berupa diskusi dengan beragam topik.
Beragam Program
Tahun ini terasa lebih segar dari sebelumnya, karena terdapat beberapa seri yang didedikasikan untuk komponis muda dan musisi-musisi lintas genre. Beberapa sesi tersebut meliputi Opening Concert yang dibuka oleh Aggarayesta (Bandung) dan Dissonant (Yogyakarta), Portrait Concert yang menampilkan Royke B. Koapaha, komponis yang mempunyai peran penting dalam skena komposisi musik khususnya di Yogyakarta. Tiga sesi lainnya adalah Highlight Concert, Young Composer Series (seri komponis muda), dan Open Lab (Laboratorium Terbuka).
Pada Seri Komponis Muda October Meeting mengundang 8 komponis dari berbagai kota seperti Bandung (Wendi Jiad Pernmana), Jakarta (Yohanes Kelvin), Yogyakarta (Aldy Maulana, Rangga PurnamaAji), Pontianak (Reza Zulianda dan Juan Arminandi), Papua (Septina Rosalina Layan), Padang Panjang (Hario Efenur). Karya-karya mereka oleh October Meeting Ensemble, sebuah ansambel yang tengah dirintis dan didedikasikan untuk merepresentasikan karya-karya musik masa kini.
Catatan Seri Komponis Muda
Konser seri komponis muda October Meeting kali ini dibuka oleh karya Reza berjudul “Nun” dengan format Ansambel Campuran. Karya ini merupakan karya yang “agresif” serta fluktuatif jika kita melihat dan mendengar alur tensi yang ia buat. Di dalam karya ini Reza juga banyak mengekplorasi perluasan teknik instrumen untuk menunjang pembangunan tensi tersebut seperti penggunaan teknik barriolage di instrumen gesek yang dipadukan dengan open harmonic di 6 senar yang dimainkan dengan teknik rasguardo pada gitar dan kombinasi perkusi campuran yang disusun untuk mencapai puncak tensi tertentu untuk membawa ke alur-alur berikutnya.
Alfred Schnittke menyebut tumbukan warna bunyi ini dengan istilah timbral dissonance dimana terdapat kombinasi dari timbre yang mempunyai relasi berjauhan yang menahan karakter individual mereka. Jika susunan “akor”/tekstur timbral dissonance hanya muncul secara singkat maka akan sulit sekali untuk mendapatkan kombinasi apa saja di dalamnya, kecuali kombinasi ini diperpanjang; dan dibeberapa bagian Reza memperpanjangnya di instrumen trumpet sebagai penanda menuju bagian berikutnya.
Setelah karya dari Reza konser dilanjutkan dengan menampilkan karya Hario Efenur yang berjudul “Aku Delay Padamu”. Karya Hario Efenur, yang akrab dipanggil Uncu ini berjudul “Aku Delay Padamu”, yang dibuat untuk alat perkusi perunggu, vokal dan efek gitar. Ia berangkat dari fenomena “delay” yang secara harfiah mempunyai arti penundaan. Penundaan bagi banyak orang adalah suatu berita buruk, karena berdampak pada kerugian material dan hal penting lainnya.
Terkait dengan “berita buruk” tersebut Hario mencoba mengekplorasi nyanyian/ritme dengan nuansa lokalitas Minangkabau yang menandakan kesedihan/kehilangan. Unsur itu dikombinasikan dengan penggunaan efek digital dan pemanfaatan feedback yang dihasilkan dari komunikasi dua ponsel yang ditampilkan dalam mode “loudspeaker” dan diposisikan saling berdekatan. Dalam karya ini pula Hario banyak mengkplorasi bunyi-bunyi yang saling “delay”.
Selanjutnya dengan format yang hampir serupa datang dari Rangga Purnama Aji untuk Vokal dan Elektronik Langsung (live electronic). Karya ini diberi judul “Beda.” Pada karya ini Rangga menginterpretasi serta memanfaatkan teks dari puisi Sari Putri Diana yang berjudul “Beda” yang dibunyikan ulang melalui google translate dan direkam. Pada karya ini vokal manusia saling merespon kata-kata yang dibunyikan melalui komputer yang mana mengakibatkan “ketersesatan” pendengaran yang mengasyikan, dimana telinga kita seperti merasa dikelabuhi. Sulit membedakan yang mana sesungguhnya suara asli manusia dan yang mana bunyi sintesis vokal manusia yang hadir dari komputer.
Pada repetoar keempat diisi oleh karya dari Juan Arminandi yang berjudul Totonk untuk trumpet rangkap tam-tam, dan kwartet gesek. Pada karya ini Juan terinspirasi dan ritual shaman dan musik yang disebut “Totonk” dari Dayak Kanayant. Seperti yang tertulis pada sub-judul karya ini “The Spirit of War,” karya ini begitu menggebu-gebu dengan ditandai tempo cepat dan berapi-api, serta dikombinasikan dengan hentakan-hentakan kaki yang menyerupai tarian perang dan momentum bunyi tam-tam yang dibunyikan oleh pemain trumpet yang semakin memberikan kesan berapi-api. Selain tempo yang cepat dan silih berganti, karya ini juga memanfaatkan banyak pergantian tanda sukat seperti 7/8, 3/8, dan 4/4. Pentas dilanjutkan dengan tiga repertoar lain yang hampir sama di wilayah penggunaan instrumen namun sangat berbeda di wilayah penggarapannya.
Septina Rosalina Layan adalah komponis perempuan dari Papua yang menampilkan karya berikutnya. Septina merupakan komponis yang produktif belakangan ini. Ia juga meraih hibah dari Yayasan Kelola untuk mementaskan karyanya “Sagu (DA) vs Sawit”. Kali ini Septina menampilkan karyanya “Reincarnation of South Papua” untuk playback, kwartet gesek dan kick drum.
Pada karya ini Septi memanfaatkan suara lingkungan/bunyi-bunyian yang berasal dari Papua yang diputar ulang melalui laptop dan dikombinasikan dengan kwartet gesek yang memainkan material-material yang bersifat repetitif namun juga transendental. Elemen tempo dipercepat sedikit demi sedikit serta diisi dengan teriakan-teriakan yang saling bersahutan hingga akhir bagian, dan di tutup dengan bunyi vokal dan fade out dari pengeras suara. Karya dari Septina ini mengingatkan penulis dengan musik-musik tradisi dari Papua yang biasa digunakan sebagai iringan upacara tertentu.
Karya selanjutnya dengan format instrumen yang sama persis datang dari Wendi (Bandung) dan Kelvin (Jakarta). Wendi merupakan murid dari komponis senior Iwan Gunawan yang banyak berkarya di Indonesia maupun di luar Indonesia bersama grup gamelan besutannya, Ensemble Kyai Fatahilah.
Pada sesi seri komponis muda ini Wendi menampilkan karya yang berjudul “Ngalengkah” (melangkah). Bunyi dari karya ini sepintas mengingatkan penulis pada karakteristik karya kwartet gesek dari komponis-komponis Aliran Wina Kedua dengan karakteristik yang lain. Pada karya ini Wendi terlihat banyak memodifikasi tangga nada “pentatonis” yang juga mengingatkan penulis pada musik-musik Jawa Barat yang berangkat dari sistem pelog dan slendro. Namun pada karya ini Wendi mengaburkan kesan-kesan itu dengan memodifikasi nada-nada yang ia gunakan, seperti kita melihat lukisan lanskap kota Bandung yang “Blur”.
Karya selanjutnya dengan format instrumen yang sama adalah karya dari Yohanes Kelvin, seorang mahasiswa Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Kelvin yang berguru kepada Otto Sidharta ini juga tergabung dalam Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble. Ia memberi judul karya ini “Interlooking-Residu”. Karya ini berangkat dari residu ingatan masa kecilnya ketika berada di Kefamenanu, sebuah kota kecil di Pulau Timor. Ia mengadopsi ritme serta bunyi dari dari tarian adat Dawan. Karya ini merupakan karya yang “longgar,” ditandai dengan penggunaan notasi spasial yang mengizinkan pemain untuk saling berinteraksi tanpa terikat dengan birama yang ketat, namun bukan berarti karya ini bisa seenaknya dimainkan karena karya ini sudah tertulis dengan pola yang tertentukan.
Karya ini juga dibangun dengan komunikasi yang intens antar pemain, yang mana pemain harus “berkomunikasi” secara intens untuk merealisasikan nada-nada maupun ritme yang ditulis dengan model notasi spasial tersebut. Pada karya ini Kelivin juga menginstruksikan kepada pemain cello dan violin untuk menghentakkan kaki mereka dan mengelilingi lingkarang pemain lain dengan berbagai pola seperti layaknya mempraktekkan sebuah tarian.
Karya terakhir sekaligus karya penutup pada sesi ini adalah karya dari Aldy Maulana, seorang komponis muda yang saat ini tinggal di Yogyakarta. Karya Aldy yang ia beri judul “Water Vapor 1.0” untuk violin dan electronic ini terinspirasi dari proses “Refraksi” yang terjadi pada lapisan troposfer. Fenomena alam ini juga ia hubungkan pada fenomena sosial dimana tumpah ruah informasi pada berbagai media sosial yang ter-“refraksi”, seperti bias antara keberpihakan antara benar-salah.
Hingga saat ini penulis masih meraba diimana letak hubungan antara proses refraksi pada fenomena alam dan sosial terhadap musiknya. Namun sependengaran penulis, karyanya lebih dekat pada model “plunderphonic” yang dikenalkan John Oswald, dimana Aldy mengutip beberapa karya-karya lain untuk digabung menjadi satu; mulai dari sepersekian detik rekaman dari lagu band Burgerkill hingga bahasa musik/karya dari zaman “klasik” dengan berbagai pengolahan. Karya ini terasa seperti “mengaburkan” antara karya yang sudah dikenali sebelumnya dan belum dikenali untuk menjadi sebuah unitas yang dibentuk dari berbagai unsur yang digabungkan (kolase). Karya model kutip-mengutip seperti ini bukanlah sesuatu yang “baru.” Sebagai contoh Berio pada Sinfonia gerakan ketiga menjadikan kutipan dari karya Mahler (gerakan III. In ruhig flieBender Bewegung) sebagai landasan struktur besar.
Cermin di Masa Depan
Selain media dan gaya yang beragam, karya-karya yang ditampilkan pada sesi seri komponis muda October Meeting ini sedikit memberikan kita gambaran seperti apa yang terjadi saat ini pada kekaryaan komponis-komponis muda di Indonesia yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Corak lokalitas menjadi sangat dominan mewarnai dimensi kekaryaan mereka, selain cipratan-cipratan bercorak urban. Konser ini bisa menjadi “cermin” bagi siapapun yang berkecimpung di wilayah komposisi musik, khususnya bagi talenta muda untuk melihat kembali peluang-peluang kreatif yang ada di masa kini. Penting pula untuk memikirkan potensi-potensi lain di masa mendatang. Selamat untuk para komponis muda yang terlibat. (Editor: Erie Setiawan/Info lain-lain: www.octobermeeting.org)
SEPTIAN DWI CAHYO
Citayam, 14 Oktober 2018
Tersedia juga di: http://artmusictoday.org/blog/index/komponis-indonesia-memotret-lokalitas