MENJELAJAHI KOMPOSISI MUSIK INDONESIA DULU DAN KINI.
Di awal tahun 2019 ini penulis ingin sekali berbagi cerita melalui tulisan tentang apa yang telah penulis alami di tahun 2018. Tapi, apa yang dapat penulis ceritakan? apakah tentang hal-hal yang ada di sekitar penulis atau sesuatu yang nun jauh di sana?. Tapi apa?, musik?, komposisi musik? Apakah ini akan menarik? Atau..?. Baiklah, setidaknya inilah hal paling dekat dengan penulis. Lalu apa yang bisa ditulis? Karena kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa yang penting itu bunyi karyanya, bukan tulisan-tulisan yang tidak ada hubungannya dengan karya, biar orang lain saja yang lakukan. Tapi apakah pendapat seperti itu sepenuhnya benar? Lihatlah Claus-Steffen Mahnkopf, Alfred Schnittke, Pierre Boulez, Helmut Lachenmann, bahkan Slamet Abdul Sjukur, mereka semua juga menulis, menulis hal-hal yang justru hanya dapat didekati lebih dalam oleh orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, ya oleh para komponis!. Jadi haruskah penulis memaparkkan tentang topik modernitas kedua yang diusung oleh Mahnkopf? Atau melanjutkan kritik Cornelius Cardew terhadap Stockhausen? Sungguh, penulis tidak sanggup. Bagaimana jika penulis menuliskan apa-apa saja yang pernah penulis temui dan dengarkan? Ya! Sesuatu yang dekat, skena dan karya-karya komposisi musik di Indonesia!.
Sepintas ide untuk menuliskan tentang komposisi musik di Indonesia begitu menarik, namun juga begitu sulit. Kenapa bisa begitu? Mungkin jawabannya adalah karena masih sedikit sumber literatur yang bisa dijajaki, tapi apakah iya? Karena buktinya kita bisa menemukan buku-buku seperti dari Dieter Mack (Zeitgenossische Musik In Indonesien “Zwischen lokalen Traditionen, nationalen Verpflichtungen und internationalen Einflussen”, Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, Sejarah Musik 4), juga buku dari Suka Hardjana (Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini), disertasi dari Chris Miller (Cosmopolitan_Nativist_Eclectic Cultural Dynamics in Indonesian Musik Kontemporer), menariknya pada disertasinya Chris Miller membagi dua aliran komponis “aliran Yogyakarta[1] yang adalah hasil dari trah Jack Body yang mana pada waktu itu Jack Body mengajar komposisi di Akademi Musik Indonesia Yogyakarta dan menelurkan nama-nama seperti Haryo “Jose”, Royke B Koapaha, Michael Asmara dan lain sebagainya. Serta aliran Jakarta[2] yang berasal dari trah Slamet Abdul Sjukur yang menelurkan nama-nama seperti Tony Prabowo, Otto Sidharta, Franki Raden. Selain buku dari Dieter Mack dan Suka Hardjana, juga selain disertasi dari Chris Miller, terdapat juga esai dari Erie Setiawan (Arsiptektur Komposisi musik Indonesia), Ben pasaribu (Kaledioskopik Komponis Dalam Musik Kontemporer Indonesia), arsip Pekan Komponis Muda, juga dari beberapa tulisan ilmiah mahasiswa/i musik yang dapat memberi kita gambaran tentang apa yang terjadi selama ini.
Jika begitu, baiklah, mungkin dari segi literasi kita sudah mendapatkan sedikit titik terang untuk menelusuri jejak-jejak komposisi musik di Indonesia. Lalu bagaimana dengan dokumentasi audio, partitur dan lain sebagainnya? Bagaimana caranya kita bisa mendengarkan (sebagai contoh, karya-karya dari Paul Gutama Soegijo)? Dimana kita bisa menemukannya? Jawabanya tidak semudah kita mencari karya Lachenmann di YouTube!. Tapi percayalah, berdasarkan pengalaman penulis mencari tau semua itu, pasti ada saja jalan untuk menemukannya. sebagaimana penulis menemukan piringan hitam di perpustakaan Kunts Uni Graz yang berisikan karya dari Paul Gutama Soegijo yang berjudul “Landschaften” untuk ansambel campuran dan koor.
Lalu apa pentingnya menjelajahi dan mendengarkan karya-karya mereka juga mempelajarinya? mungkin ini bukanlah sebuah hal yang penting, tapi penulis mempunyai beberapa pengalaman yang mungkin penting untuk dibagikan di sini. Suatu saat penulis ditunjuk oleh seorang komponis yang bernama Georg Friedrich Haas untuk mempresentasikan tentang komposisi musik “kontemporer” di Indonesia (hal ini terjadi setelah perbincangan awal tentang Jose Maceda dan beliau ingin mengetahui komponis lain dari Asia Tenggara khususnya dari Indonesia) di kelasnya yang kebetulan penulis juga ikut bergabung di kelasnya. Saat itu penulis sangat gembira karena ada yang ingin mendengarkan karya-karya dari komponis Indonesia yang mungkin bagi orang Indonesia sendiri tidak penting dan menarik. Tapi perasaan bahagia itu sekejap luluh lantah karena mulai detik itu penulis bertanya, dimana semua sumber literatur, audio, dan lain sebagainya bisa penulis dapat? Dan ini adalah tugas yang berat untuk menyusuri sejarah panjang komposisi musik di Indonesia yang mungkin masih tercerai berai, terputus dan mungkin sulit untuk dilacak. Singkat cerita, setelah perbincangan dengan Haas penulis mulai menghubungi beberapa narasumber seperti Dieter Mack, Gema Swaratyagita dan lain sebagainya untuk menanyakan banyak hal yang berhubungan dengan arsip-arsip dari para komponis Indonesia. Sungguh beruntung pada waktu itu penulis mendapatkan banyak kiriman dokumentasi audio dari Dieter Mack dikarenakan beliau banyak menyimpan arsip tentang komposisi musik di Indonesia khususnya data-data audio dari karya para komponis Indonesia.
Lalu apakah data-data yang kebanyakan berkisar dari arsip karya dari generasi 1970an sampai akhir 1980an itu cukup? Tentu saja belum cukup untuk menelurusi apa yang sudah terjadi. Singkat cerita penulis mendapatkan referensi berharga lagi, yaitu data-data dari buku Dieter Mack yang berjudul “Zeitgenossische Musik In Indonesien”. Tapi sayangnya semua informasi itu tertulis dalam bahasa Jerman yang sungguh penulis tidak mengerti!. Puji syukur penulis mempunyai seorang teman, pianis perempuan dari Thailand yang baik hati yang mau menemani penulis untuk menerjemahkan dan mencoba mengerti setiap bab dari buku itu. Sungguh menarik, seseorang yang berkebangsaan Jerman dengan begitu rincinya menuliskan tentang komponis-komponis Indonesia. Di dalam buku itu penulis mendapatkan sebuah referensi dimana Dieter Mack secara garis besar membagi model kekaryaan para komponis Indonesia menjadi tiga bagian. 1) musik baru dari para komponis yang berangkat dari bahasa musik tradisional Barat[3] yang diwakili oleh Amir Pasaribu, Jaya Suprana dan lain sebagainya. 2) musik baru dari para komponis yang berangkat dari bahasa musik tradisi[4] (baca: masing-masing etnis) yang diwakili oleh I Wayan Sadra, Dody Satya dan lain sebagainya. 3) musik baru dari para komponis yang berangkat dari bahasa musik kontemporer Barat[5] yang diwakili oleh Tony Prabowo, Michael Asmara dan lain sebagainya. Jika pada buku Dieter Mack model kekaryaan dilihat dari beberapa jalur, maka menurut Ben Pasaribu pada tulisannya “Kaleidoskopik Kompnis Dalam Musik Kontemporer Indonesia” Ben membaginya hanya menjadi dua golongan: Dalam perkembangan penciptaan musik baru di Indonesia, kita akan menemukan alur yang secara kesejarahan meneruskan dua ragam tradisi musik. Pertama, penciptaan dalam konteks musik tradisional yang berkembang dalam masyarakat (termasuk pengaruh-pengaruh asing yang sudah menyatu dalam kultur); dan kedua, penciptaan dalam konteks penggunaan estetika musikal dari musik Barat, baik dalam format struktur maupun instrumentasinya.[6] Dari referensi-referensi ini penulis mendapat banyak nama yang akhirnya membawa penulis untuk mencari dokumentasi karya-karya mereka!.
Pengembaraan telinga ini dimulai dengan mendengarkan karya-karya dari Harry Roesli, Paul Gutama Soegijo, Slamet Abdul Sjukur, Dody Satya, Iwan Gunawan, I Wayan Gede Yudane, I Wayan Sadra, Ben Pasaribu, Franki Raden, Tony Prabowo, Otto Sidharta, Sapto Raharjo dan lain sebagainya. Dari sesi mendengarkan ini penulis menemukan banyak hal menarik! Sebagai contoh ketika ternyata Harry Roesli dan Iwan Gunawan mempunyai karya elektroakustik yang sangat menarik yang sebelumnya penulis belum pernah dengarkan! (karena selama ini Harry Roesli lebih banyak diketahui melalui gaya progresif rocknya dan Iwan Gunawan dikenal melalui karya-karyanya bersama ansambel Kyai Fatahillah). Pada karya “Asmat Dream” Harry Roesli banyak menggunakan rekaman soundscape dari tanah Papua dan mengolahnya menjadi suatu karya yang “meditatif”, dan pada karya “Ambience” Iwan Gunawan banyak menggunakan material bunyi yang sama sekali penulis tidak pernah mempunyai ekspektasi bahwa Iwan Gunawan pernah mempunyai karya elektronik seperti itu. Selain Harry Roesli dan Iwan Gunawan yang membuat penulis terkejut, juga ada karya dari Paul Gutama yang berjudul “Landschaften” yang dekat dengan gaya Eropa pada saat itu seperti Iannis Xenakis, Stockhausen.
Lucunya beberapa bulan kemudian penulis bertemu di media sosial facebook dan bertukar informasi dengan muridnya di Jerman yang bernama Thomas Zunk yang pernah tergabung dalam grup gamelan bentukan Paul Gutama yang bernama Banjargruppe. Dia mengirimkan rekaman karya-karya Paul Gutama dari periode bersama banjargruppe (Bidadari Tampil, Kotekan). Sungguh kontras sekali dengan karya fase sebelumnya (Klavierstudie dan Landschaften)!. Pada periode bersama Banjargruppe ini Paul Gutama menawarkan konsep yang dia beri nama Musik Leluhur Baru dimana dia mendekostruksi material-material yang dia temukan dalam tradisi gamelan dan dia perlakukan secara baru lepas dari konteks entografinya. Sungguh, dari sini saja penulis menemukan bahwa beberapa komponis Indonesia pernah mengalami fase pergeseran gaya kekaryaan, dan ini sangat menarik sekali!, dan pada generasi ini pula mulai terbentuk asosiasi dan festival tahunan seperti Asosiasi Komponis Indonesia (walaupun sebelum AKI terdapat beberapa asosiasi lain yang dibentuk oleh Amir Pasaribu dan Trisutji Kamal) dan Pekan Komponis Muda.
Pengalaman mendengarkan kembali karya-karya dari para komponis Indonesia dari generasi 70an-80an tadi sangat berkesan di telinga dan pikiran penulis yang membawa penulis kepada pertanyaan, seperti apa karya-karya dari para komponis Indonesia pada generasi selanjutnya? Dan adakah korelasi antara mereka dan generasi sebelumnya?. Perburuan arsip mulai penulis lanjutkan kepada karya-karya dari para komponis Indonesia generasi 2000an. Pada paruh pertama penulis menemukan nama-nama seperti Matius Shanboone, Dicky Indrapraja, Gatot Danar Sulistiyanto, Patrick Gunawan, Tony Maryana, Gema Swaratyagita, Andreas Arianto, Lawe Samagaha dan lain sebagainya. Dan fase selanjutnya penulis menemukan nama-nama seperti Stevie Jonathan, Nursalim Yadi Anugerah, Arham Aryadi, Aldy Maulana, Putu Septa, dan lain sebagainya. Yang menarik dari angkatan 2000an ini adalah bagaimana mereka terhubung dengan skena komposisi Internasional, jika mungkin pada generasi sebelumnya hal ini pernah terjadi seperti bagaimana Ben Pasaribu mempunyai hubungan baik dengan Alvin Lucier dan lain sebagainya, maka di generasi 2000an ini, frekuensi pertemuan seperti itu menjadi sangat sering!.
Sebagai contoh sudah beberapa kali terjadi pertemuan antara para komponis muda ini dengan ansambel kontemporer kenamaan dunia seperti ansambel Modern dari Jerman, ansambel Multilateral dari Perancis, Kwartet Bozzini dari Kanada, Orkest de Ereprijs dari Belanda, juga karya-karya mereka banyak dimainkan pada festival terkemuka seperti Ircam Manifeste, Ars Electronica, Young Composers Meeting, Gaudeamuz Muziekweek, ZKM, Holland Festival, Europhalia, dan lain sebagainya, selain itu karya mereka sering mendapat penghargaan dari dunia internasional. menurut hemat penulis hal ini dapat terjadi karena akses informasi saat ini sangat dimudahkan dengan kehadiran internet dimana para komponis muda ini bisa mengakses beberapa festival dan mengirimkan karya mereka secara langsung. Pada periode ini juga beberapa acara komposisi baru muncul seperti Yogyakarta Contemporary Music Festival, Bukan Musik Biasa, October Meeting. Serta komunitas-komunitas kecil (kelas kampus) muncul seperti 6,5 composers collective yang berbasis di ISI Yogyakarta, dan The Circle yang berbasis di Universitas Pelita Harapan Jakarta yang rajin mengadakan acara-acara komposisi.
Kembali pada cerita pengumpulan materi-materi karya yang penulis kumpulkan dari generasi ini. Penulis tidak mempunyai kesulitan yang berarti untuk mencari karya-karya mereka dikarenakan generasi ini sudah sadar akan dokumentasi dan bagaimana “menjual” musik mereka, hal ini ditandai dengan kebanyakan dari mereka mempunyai situs pribadi yang berisikan karya-karya dan informasi lain tentang mereka masing-masing. Selain itu mereka juga sangat memanfaatkan media sosial seperti YouTube, Facebook, Soundcloud sebagai media “provokasi” karya mereka, layaknya Johannes Kreidler yang selalu update menggungah aktifitasnya di facebook maupun di YouTube mulai dari karya, ceramah dan lain sebagainya.
Pada generasi ini penulis menemukan, jalur yang hampir sama seperti yang Dieter Mack coba “petakan”. Kebanyakan para komponis ini bergerak pada tiga jalur: Jalur 1) musik baru yang berangkat bahasa musik tradisional Barat. Jalur 2) musik baru dari para komponis yang berangkat dari bahasa musik tradisi (baca: masing-masing etnis). Jalur 3) musik baru yang berangkat dari bahasa musik kontemporer Barat.
Sebagai contoh dari jalur 2 adalah kelompok Kalimantan yang digawangi oleh Nursalim Yadi Anugerah, karya-karya pada kelompok ini banyak mengangkat kearifan lokal di wilayah Kalimantan yang menjadi titik berangkat bagi karya-karya mereka, namun karya-karya mereka tidaklah dalam artian konservasi melainkan berpijak pada tradisi untuk bergerak maju. Sebagai contoh dimana Nursalim mengangkat cerita rakyat dari Kalimantan sebagai sumber inspirasi karya operanya. Nursalim merupakan komponis kelompok Kalimantan yang cukup menonjol, ia pernah mendapatkan memenangkan young composers meeting award di Belanda dan mendapatkan komisi. Kelompok Kalimantan ini terbentuk dikarenakan Dicky Inderapraja pernah mengajar di sebuah Universitas di sana, Dicky sendiri pernah tercatat menjadi seorang murid dari Royke B Koapaha. Dari sini kita bisa melihat bagaimana generasi lama dan baru saling terhubung walaupun mungkin dari segi kekaryaan mereka sangatlah berbeda!.
Selain itu dari dari jalur 2 ini terdapat nama-nama lain seperti Arham Aryadi dari Jakarta yang membentuk ansambel Indonesian Gamelan Contemporary Ensemble dan juga aktif membantu Franki Raden pada proyeknya Indonesian National Orchestra (sebetulnya agak sulit mengatakan bahwa ia dekat pada jalur ini selain penggunaan media gamelan, namun di karya-karya lain ia banyak berangkat dari kearifan lokal dimana ia mengimitasi bunyi tarawangsa sebagai pijakan karya barunya), juga ada Putu Septa, Yan Priya Kumara Janardhana, mereka berdua adalah komponis muda Bali yang juga bersentuhan dengan generasi I Wayan Gede Yudane dan Dewa Alit. Selain itu terdapat Hario Efenur dari kubu Sumatera dan Markus Rumbino serta Septina Rosalina Layan dari wilayah Papua (kedua komponis aktif Papua ini merupakan murid dari Royke B Koapaha dikarenakan mereka studi di ISI Yogyakarta), selain itu mungkin juga Gatot Danar Sulistiyanto bisa didekati melalui jalur ini. Gatot juga merupakan komponis keturunan trah ISI Yogyakarta walaupun dia sendiri tidak mengambil jurusan utama komposisi musik di kampus itu dan lebih banyak studi kelompok dengan teman seangkatannya (cikal bakal 6,5 composers collective), selain itu darinya juga banyak dari komponis muda Yogyakarta belajar.
Selanjutnya adalah para komponis yang meneruskan kekaryaan pada model jalur ke 3 dimana kebanyakan karya-karya mereka dapat didekati dari bahasa musik kontemporer Barat seperti beberapa karya dari Matius Shanboone (Matius merupakkan komponis muda Indonesia yang banyak menyabet pernghargaan dari ranah Internasional), Stevie Jonathan, Patrick Gunawan Hartono. Untuk Stevie dan Patrick, mereka mempunyai hubungan yang unik dengan generasi sebelumnya dimana mereka adalah murid dari Otto Sidharta dan mereka berdua bergerak pada musik baru yang menggunakan intermedia elektronik. Namun terdapat perbedaan yang menonjol diantara generasi ini dan Otto Sidharta dimana para komponis muda ini banyak mengekplorasi di wilayah ”music in expanded field” yang mana mereka banyak melibatkan komputasi, media-media baru, sensor, penggunaan live visual, machine learning, dan lain sebagainya, selain Stevie dan Patrick terdapat nama lain yang bukan berasal dari trah Otto Sidharta, yaitu Tony Maryana (dan mungkin mereka bisa dibilang fase kedua generasi komponis musik elektronik setelah fase pertama yang digawangi oleh Otto Sidharta). Juga pada wilayah “music in expanded field” ini ada nama lain yaitu Gema Swaratyagita, walaupun karya-karyanya tidak fokus melibatkan komputasi dan penggunaan new media, tetapi dia banyak menggunakan unsur-unsur teatrikal, performans, visual dan ketubuhan seperti yang terjadi pada karya-karya dari Jennifer Walshe dan Jagoda Szmytka. Namun karya dari Gema sendiri tidak bisa digolongkan pada jalur 3 ini, juga sebetulnya karya-karya dari Matius, Patrick dan Stevie tidak bisa sepenuhnya digolongkan pada jalur ini, hanya bisa didekati lewat jalur ini.
Selain kedua jalur tadi, juga banyak para komponis muda yang bisa didekati dengan pendekatan jalur 1, yaitu yang berangkat dari tonalitas, triad, mayor minor, romantisisme dan lain sebagainya, seperti Gigih Gardika Pradipta yang banyak berkolaborasi dengan pembuat filem dan juga sering melakukan residensi dengan para pemusik Jepang seperti Makoto Nomura dan kelompoknya, ada juga Julius Catra Henakin yang ia sendiri mengakui bahwa ia sangat mengagumi karakter musik Romantik. Disamping ketiga jalur tadi terdapat nama-nama lain yang penulis bingung bisa didekati lewat mana, seperti Jay Afrisando yang banyak mengeksplorasi unsur improvisasi dan juga ”participative art”, selain komponis, terdapat juga kelompok-kelompok musik baru besutan para komponis seperti Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble (Arham Aryadi), Gamelan Salukat (Dewa Alit), Gamelan Kyai Fatahillah (Iwan Gunawan), Indonesian National Orchestra (Franki Raden), Balaan Tumaan (Nursalim Yadi Anugerah dan kelompok Kalimantan), Jogja Synth Ensemble dan Yogyakarta Laptop Ensemble (Tony Maryana dan kelompok) dan masih banyak lagi.
Setelah berkelana dengan materi yang penulis kumpulkan dan dengarkan satu persatu, mulailah penulis menyusun materi presentasi. Pada hari H penulis memulai presentasi dengan memutar dan menjelaskan tentang apa yang terjadi pada para komponis era tahun 70an-80an, seperti bagaimana musik mereka, apa saja konsep yang mereka tawarkan, apa saja geliat pergerakan mereka (baca: festival dan forum). Setelah penulis selesai mempresentasikan karya-karya dari generasi 70an-80an, penulis melanjutkannya dengan mempresentasikan karya-karya dari generasi 2000an dan mulai sedikit “mengkomparasinya” dengan generasi sebelumnya, selain mengkomparasi penulis juga menjelaskan hubungan antara kedua generasi ini seperti siapa belajar sengan siapa, siapa melahirkan siapa dan seterusnya (selain sesi dengar, penulis juga menuliskan informasi lain tentang festival apa saja yang lahir di kedua era dan lain sebagainya pada draft yang penulis bagikan ke hadirin yang datang). Sesi presentasi ini penulis tutup dengan memaparkan beberapa ansambel yang dibentuk oleh para komponis dan penulis tutup dengan memutarkan video dari Indonesian National Orchestra besutan Franki Raden dimana di dalam orkestra ini semua instrumen berasalkan dari instrumen-instrumen dari seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai jenis dari gesek, tiup, perkusi dan lain sebagainya.
Setelah itu presentasi dilanjutkan dengan tanya jawab, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meliputi: 1. seberapa besar luas Indonesia (setelah Georg Friedrich Haas melihat video Indonesian National Orchestra). 2. seperti apa karya opera Indonesia dan siapa saja komponis yang sering menggarap opera. 3. apakah pengaruh Barat telah meruntuhkan bahasa musik Indonesia? Sebab menurut penanya rasa Indonesia sulit dilacak khususnya pada karya-karya generasi 2000(ini pertanyaan yang sulit dijawab, dan mungkin juga penulis kurang memutar karya yang merepresentasikan “ke-Indonesia-an”? tapi pertanyaannya memangnya ada “musik Indonesia”?) 4. Apakah para komponis generasi 2000an tersebut kebanyakan mendapatkan pendidikan di Barat? 5. Mengapa bunyi gamelan saat ini mendekati tuning Barat? (pertanyaan ini disebabkan sebelum memulai presentasi penulis memutar beberapa musik daerah sebagai contoh). Dan lain sebagainya. dari pengalaman ini sendiri penulis mendapatkan sebuah pelajaran yang berarti, yaitu bagaimana pada akhirnya penulis mengenali diri melalui kesejarahan panjang yang telah terjadi pada dunia komposisi Indonesia. Hal ini menjadi media refleksi dimana posisi penulis berada dan berasal dan akan kemana selanjutnya?
CITAYAM, 3 JANUARI 2019
SEPTIAN DWI CAHYO
[1] Cosmopolitan Nativist Eclectic Cultural Dynamics in Indonesian Musik Kontemporer. Hal 206
[2] Cosmopolitan Nativist Eclectic Cultural Dynamics in Indonesian Musik Kontemporer. Hal 177
[3] Zeitgenossische Musik In Indonesien, Zwischen lokalen Traditionen, nationalen Verpflichtungen und internationalen Einflussen. Hal 297
[4] Zeitgenossische Musik In Indonesien, Zwischen lokalen Traditionen, nationalen Verpflichtungen und internationalen Einflussen. Hal 307
[5] Zeitgenossische Musik In Indonesien, Zwischen lokalen Traditionen, nationalen Verpflichtungen und internationalen Einflussen. Hal 345
[6] Kaleidoskopik Komponis Dalam Musik Kontemporer Indonesia.