MUSIK MULTIMEDIA (AUDIOVISUAL)
(tulisan ini juga dimuat di https://muarasuara.id/musik-multimedia/ )
Oleh: Septian Dwi Cahyo
INTRODUKSI
Para komposer masa kini tidak hanya duduk di kursi dan menulis notasi sebagai representasi dari ide bunyinya atau secara langsung menggunakan material bunyi sebagai bahan komposisi yang diolah dengan alat elektronik. Komposer juga memperluas keterampilan mereka untuk mewujudkan seni mereka melalui penguasaan perangkat lunak pengeditan video, alat VJ, kamera film dan foto, pementasan, pencahayaan, bahasa program, protokol komunikasi, bekerja dengan mikroprosesor, komputasi fisik, penyolderan, menjahit, tata letak buku, dan banyak lagi (Ciciliani, 2017: 27).
Keterampilan ekstra tersebut memungkinkan komposer untuk membuat musik multimedia dengan keterlibatan media lain seperti proyeksi pencahayaan, proyeksi visual, video, teks, dll. Kita dapat melihat contoh keterlibatan media lain dalam musik multimedia seperti di karya Michael Beil “Key Jack" yang melibatkan penggunaan konten live video, di karya Marko Ciciliani "Alias”, di mana proyeksi pencahayaan menjadi salah satu materi dalam karya ini, atau seperti dalam" DIY or DIE" Jagoda Szmytka di mana ia melibatkan penggunaan kostum secara spesifik, dan pengaturan panggung.
Pelibatan “media” lain di dalam musik bukanlah sesuatu hal yang baru, hal ini bisa ditarik mundur ke tahun 1725 ketika Louis Bertrand Castel melibatkan warna dalam instrumennya yang diberi nama ocular harpsichord. Bentuk dari ocular harpsichord sendiri seperti harpsichord pada umumnya, namun ocular harpsichord memainkan warna daripada suara (Hankins, 1994:143). Di Indonesia sendiri kita bisa melihat kombinasi antar media ini di dalam pertunjukan wayang kulit. Dimana kombinasi media visual dan bunyi di dalam pertunjukan wayang kulit bersinergi dalam aspek yang lebih integral dan bukan hanya saling menjadi latar antara satu media dengan media yang lainnya.
Selanjutnya perkembangan kombinasi antara musik dan media lain (baca: visual, warna, teks dan lain-lain) ini bisa kita lihat di ide tentang Gesamkunstwerk (total art), penggunaan aspek cahaya dalam karya Alexander Scriabin – Prometheus, pada teknik drawing sound on film (Norman Mclaren), hingga teknik scanline synthesis. Pada contoh terakhir, hubungan bunyi dengan visual menjadi sangat erat karena scanline synthesis sendiri didasarkan pada menyalin nilai piksel dari gambar digital ke dalam buffer audio yang kemudian digunakan sebagai bentuk gelombang untuk osilator (Ciciliani, 2015: 91).
Dari dari contoh-contoh di atas kita dapat menemukan bahwa persinggungan-persinggungan musik dan media lain sudah sejak lama terjadi dan menjadi salah satu pilihan komponis masa kini untuk mengekpresikan ide artistik mereka. Yang menjadi menarik dalam hal musik multimedia ini adalah bahwa kini audiens tidak hanya diprovokasi dengan bunyi-bunyian semata, namun juga oleh media lainnya seperti teks, video, gambar. Kombinasi antar media ini mampu memancing pengalaman lain yang sebelumnya tidak bisa didapatkan di musik absolut, atau musik instrumental. Shin-Ichiro Iwamiya memetakan fenomena kombinasi auditori dan visual dalam multimedia hanya dibagi menjadi dua kategori, yaitu kongruensi formal dan kongruensi semantik.
Kongruensi formal diartikan sebagai pencocokan struktur temporal auditori dan visual (Iwamiya, 2013: 141). Ini memberikan bentuk persepsi yang bersatu untuk informasi pendengaran dan visual. Kategori lainnya adalah kongruensi semantik. Kesesuaian semantik diartikan sebagai kesamaan antara kesan auditori dan visual afektif (Iwamiya, 2013: 141). Ini membantu untuk mengkomunikasikan makna konten audiovisual kepada penerima. Selain analisis dari Iwamiya tersebut, Harry Lehmann juga menawarkan konsep Gehalt dan musik relasional untuk “membedah” fenomena musik multimedia.
ESTETIKA GEHALT DAN MUSIK RELASIONAL
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Harry Lehmann juga menawarkan sudut pandang lain dalam melihat fenomena musik multimedia, tawaran tersebut adalah estetika Gehalt dan musik relasional. Konsep Jerman "Gehalt" sendiri tidak dapat diterjemahkan dengan tepat ke dalam bahasa Inggris. Gehalt dari sebuah karya seni bukanlah “konten” tradisional yang sudah ada sebelumnya, tetapi harus dialami oleh penerima melalui proses interpretasi (Lehmann, 2006: 31). Menurut Lehmann, Gehalt ini hanya dapat terjadi dalam musik relasional.
Berbeda dari musik program dimana ekstra musikal seperti gerakan, gambar dan bahasa juga dapat sepenuhnya bermusik, yaitu berubah menjadi materi musik. Sebagai contoh adalah kepakan sayap lebah yang dimusikalisasi/direduksi ke material musik (baca: pola ritme dan nada) di karya The Flight of Bumblebee dari Nikolai Rimsky-Korsakov. Berbeda dengan musik program, musik relasional, di sisi lain, mempertahankan rujukannya ke dunia, rujukannya pada sesuatu yang bukan lagi musik (Lehmann, n.d.).
Dalam musik relasional, relatum musikal (teks, gambar, video, dll) hadir sebagaimana adanya dan tidak berubah menjadi materi musik. Gehalt dalam musik relasional terjadi ketika setiap media (musik, teks, visual) saling terkombinasi dan memproduksi semantik tertentu. Sebagai contoh, di dalam karya Donny Karsadi – I Hate My Stupid Brain kita bisa melihat sebuah fenomena yang bersebrangan antara teks yang di proyeksikan di layar dengan suara artifisial. Ketika teks yang diucapkan oleh suara AI, terjemahan/subtitle-nya yang diproyeksikan sebagai teks pada layar menampilkan hal yang bersebrangan, misal di suara AI berkata “yes”, namun teks yang terproyeksikan tertulis “no”. Perpaduan antar media itulah yang memberikan makna “tersembunyi” untuk merespon suara gitar yang “menggoda” AI. Seperti itulah Gehalt bekerja di dalam musik multimedia atau Harry Lehmann menyebutnya musik relasional.
MUSIK MULTIMEDIA DAN ESTETIKA PASCA MODERN
Fenomena ini juga menjadi “jalan” lain dimana dahulu musik baru selalu fokus dalam mengembangkan material. Ketika kini perkembangan material itu menjadi semakin lambat, maka kini perkembangan musik baru mengarah kepada “permainan” Gehalt. Musik relasional atau musik multimedia ini juga membuka batasan-batasan antara budaya tinggi dan budaya masa yang mana hal tersebut erat dengan estetika pasca modern.
Menurut Fredric Jameson, ada dua ciri dari pasca modernisme. Pertama, pasca modernisme muncul sebagai reaksi spesifik terhadap bentuk mapan modernisme tinggi, atau melawan modernisme tinggi yang dominan yang menaklukkan universitas, museum, jaringan galeri seni, dan institusi. Fitur kedua dari pasca modernisme adalah penghapusan beberapa batasan atau pemisahan utama, terutama perbedaan antara budaya tinggi dan budaya massa atau budaya populer (Jameson, 1983: 111).
Dalam kasus musik multimedia, saya menemukan contoh ciri estetika pasca modern pada karya Marko Ciciliani yang berjudul “Time Machine”. Dalam karya ini Marko mengutip beberapa lagu pop dari berbagai genre musik pop dan ia meletakkan kolase gaya musik pop ini sebagai pengantar karya ini. Ciri bunyi juga dapat menjadi contoh akan pastiche yang gaya kutipannya tidak memiliki impuls satir.
Leburnya budaya “tinggi” dan pop pada karya ini juga tidak hanya muncul pada aspek bunyi, tetapi juga muncul pada bagian visual dimana pola Grid “modern” dan visual geometris yang dilkombinasikan dengan seni pop dimana visual seperti komik sering muncul dan berpadu dengan benda-benda geometris. Pada bagian visual ini Marko meletakkan beberapa gambar komik yang bercerita tentang mesin waktu, terutama pada bagian introduksi. Gambar tersebut muncul sebelum kolase kutipan musik pop dari berbagai genre masuk, dimana semua lirik lagu pop tersebut adalah “time machine”.
Fenomena pasca modern ini kemudian memungkinkan para komponis untuk melakukan yang lain, kemungkinan di luar pengejaran inovasi dan pengembangan materi. Kini, masa lalu, “yang lain” dan budaya pop dapat menjadi rujukan dan sebagai titik balik aspek modernitas, juga memberikan solusi alternatif untuk “hibernasi” perkembangan materi yang semakin mengecil di ranah musik baru[8], dan aspek-aspek estetika pasca modern dapat direalisasikan juga menggunakan kombinasi antar media di musik multimedia.
PENUTUP
Kombinasi musik dan media seni lainnya yang juga biasa disebut dengan musik multimedia mempunyai sejarah panjang dan terjadi baik di dunia “Barat” maupun “Timur”. Musik multimedia pun menjadi salah satu alternatif komponis masa kini untuk merealisasikan ide-ide artistik mereka. Selain itu, ia juga mempunyai potensi lain seperti estetika Gehalt yang memungkinkan kombinasi antar media membangun satu “tanda” tertentu yang dapat ditangkap oleh berbagai indra yang kombinasinya memancing interpretasi tertentu. Potensi Gehalt pada musik multimedia tersebut juga menjadi sebuah alternatif lain di tengah perkembangan material pada musik masa kini yang semakin hari semakin “lambat”.
Dari tempat persembunyian
10 September 2020
[1] Cahyo, Septian Dwi. (2019). Postmodern Aspects of Electronic and Multimedia Music, In Jurnal Kajian Seni Vol. 06, No. 01: 16-24. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
[2] Ciciliani, M. (2017). Music in the Expanded Field – On Recent Approaches to Interdisciplinary Composition. In Rebhahn, M., Schäfer, T. [Ed.]. Darmstädter Beiträge zur Neuen Musik: 23-35. Mainz: Schott.
[3] Ciciliani, M (2015). SCANLINE SYTHESIS AS A SONIFICATION METHOD FOR DIGITAL IMAGES: TECHNIQUES AND AESTHETICS – A CRITICAL REFLECTION. In proceedings of understanding visual music 2015 symposium: 91-101. Brazil: Universidade de Brasília, Pós-Graduação em Arte.
[4] Hankins, Thomas L. (1994). The Ocular Harpsichor of Louis-Bertrand Castel; Or, The Instrument That Wasn’t. In Osiris, 2nd Series, Vol. 9, Instruments: 141-156. Chicago: The University of Chicago Press on Behalf of The History of Science Society.
[5] Lehmann, H. (2006). Avant-garde Today. A Theoretical Model of Aesthetic in Modernity. In Critical Composition Today: 9-42. Hofheim: Wolke.
[6] Lehmann, H. (n.d). relationale Musik. Diakses September 10, 2020, from http://www.harrylehmann.net/begriffe-2/#relationale-musik
[7] Jameson, Fredrich (1983). “Postmodernism and Consumer Society”. In The Anti Aesthetic, Essay of Postmodern Culture. Edited and with an Introduction by Hal Foster: 111 - 125. New York: The New Press.
[8] Iwamiya, Shin-Ichiro. (2013). Perceived congruence between auditory and visual elements in multimedia. In Tan, Siu-Lan et al. The Psychology of Music in Multimedia: 141-164. Oxford: Oxford Univesty Press.