MUSIK DI BIDANG YANG DIPERLUAS – PENDEKATAN-PENDEKATAN TERKINI HINGGA KOMPOSISI INTERDISIPLIN
Oleh Marko Ciciliani
Diterjemahkan oleh Septian Dwi Cahyo
( Tulisan asli tersedia di: https://www.academia.edu/35170374/Music_in_the_Expanded_Field )
1. Introduksi
Pada tahun 1978 kritikus seni Rosalind E. Krauss menulis pada artikelnya “Sculpture in Expanded Field”: Hal-hal yang agak mengejutkan yang telah disebut sebagai seni pahat: gang sempit dengan TV monitor pada bagian akhirnya; Fotografi-fotografi besar yang mendokumentasikan pejalan kaki; cermin-cermin yang disusun dengan posisi yang aneh pada sebuah ruang biasa; garis-garis sementara yang dipotong ke dalam lantai dari padang pasir.”[1]
Lebih lanjut pada teks yang sama dia menulis: Praktik tidak didefinisikan pada relasi terhadap media yang diberikan – patung – tapi lebih kepada relasi terhadap operasi-operasi logis pada sebuah peletakan terminologi-terminologi kultural, yang mana setiap media – fotografi, buku-buku, linen pada dinding, cermin-cermin, atau patung itu sendiri – dapat digunakan.”[2]
Saya memulai teks ini dengan kutipan-kutipan tersebut dikarenakan, dengan judul “Music In The Expanded Field”, saya membuat referensi kepada artikel dari Krauss. Apa yang Krauss deskripsikan adalah sebuah situasi dimana 1) sebuah bagian besar dari praktik-praktik menjadi dipersingkat dibawah kategori dari seni pahat yang sulit disamakan terhadap pengertian tradisional dari seni pahat, dan 2) bahwa praktik-praktik ini tidak diasosiasikan dengan media khusus apapun tapi bahwa hubungan mereka terhadap sebuah situasi kultural yang khusus mengizinkan sebuah keberagaman material-material, yang juga dideskripsikan sebagai “eklektik”.
Saya merujuk pada teks ini karena saya berpendapat bahwa saat ini – meskipun hampir empat puluh tahun kemudian – kita mempunyai kesamaan situasi pada ranah musik. Akhir-akhir ini banyak komponis bekerja melampaui batasan-batasan tradisional dari musik, memperluas kepada praktik dan media lainnya. Jennifer Walshe bekerja dengan elemen-elemen performatif, Yannis Kyriakides menggabungkan video-video teks ke dalam karya musiknya, Jagoda Szmytka mengorganisir kejadian-kejadian di atas perluasan durasi, François Sarhan mempersembahkan instalasi-instalasi hidup. Daftar contoh-contoh ini dapat dilanjutkan dan hampir tak terhingga. Apa yang membedakan praktik-praktik ini dari proyek interdisiplin lainnya adalah bahwa seniman-seniman ini merealisasikan sendiri elemen-elemen visual atau performatif dari proyeknya – jika mereka berkolaborasi dengan seniman lain – mereka biasanya sudah mengembangkan sebuah ide yang sangat konkrit dari karya sebagai sebuah keseluruhan yang independen dari seniman-seniman yang terlibat. Jennifer Walshe menjelaskan tentang karyanya: “Saya merealisasikan sendiri bagian-bagian video di karya saya. Terutama ini karena saya menginginkan mereka menjadi bagian integral dari komposisi saya – saya tidak akan mengalih dayakan bagian cello pada sebuah kwartet gesek kepada orang lain (kecuali itu adalah bagian dari konsep karya!) jadi untuk apa saya mempekerjakan orang lain untuk bagian video?”.[3]
Ini terlihat bahwa komponis-komponis ini memperluas ke praktik-praktik yang berbeda tanpa mengabaikan ide bahwa sebenarnya mereka menggubah musik. Berikut ini adalah kutipan lainnya dari Jennifer Walshe yang mendukung ini: “Saya ingin menyebut ini sebagai musik, daripada interdisiplin, dan bagi kami untuk mediskusikan ini sebagai musik.”[4]
Seniman-seniman yang saya rujuk tidak dengan direncanakan mencoba untuk membelokkan diri mereka menjadi seniman dari disiplin lain; tapi lebih kepada, mereka bekerja dibawah pengertian bahwa bunyi itu sendiri sudah tidak lagi mampu mengekspresikan ide musikal mereka.
Ini mungkin terlihat paradoks untuk berpendapat bahwa ini tidak mungkin untuk mengekspresikan ide musikal hanya melalui bunyi. Ini memerlukan bahwa, setidaknya kepada sebuah perluasan tertentu, elemen-elemen musikal ada secara independen dari bunyi. Bagaimanapun, sebagai sebuah ide, ini telah diartikulasi oleh Robert Ashley pada awal tahun 1961: “ini terlihat bagi saya bahwa redefinisi yang paling radikal dari musik yang dapat saya pikirkan adalah sesuatu yang mendefinisikan “musik” tanpa referensi kepada bunyi.”[5]
Saya beropini, ini tidak akan berhasil untuk mencoba sebuah definisi ontologis baru dari musik pada alasan-alasan ini. Pada konteks yag diberikan, bagaimanapun, saya ingin fokus kepada musik sebagai praktik yang mengizinkan pencantuman dari elemen-elemen non-sonik, daripada musik sebagai sebuah objek yang harus didefinisikan, untuk menggambarkan sesuatu yang saya kenali secara relatif sebuah perkembangan yang masih dini dan yang mana saya akan mengambil kebebasan untuk menyebut “Musik Di Bidang Yang Diperluas”.
2 Menemukan kembali instrumen
“[...] Pergeseran dari teritori tradisional dari musik seringkali dimulai dengan memikirkan ulang peranan dan pemakaian dari instrumen musik.”[6]
Saya ingin memeriksa lebih dekat ide dari instrumen dan bagaimana ini mungkin telah berubah pada dalam praktik-praktik komposisi di bidang yang diperluas. Pada tahun 1986 Helmut Lachenmann mempublikasikan teks “Über das Komponieren” dimana sebuah sub bab diberi judul “To compose means: to build and instrumen”,[7] Lachenmann menulis bahwa struktur inti dari bunyi menggandung aspek-aspek yang dapat diterjemahkan kepada bagian-bagian musikal yang lebih panjang, yang mana proyeksi horisontal dari karakteristik-karakteristik dari bunyi khusus ini. Dia merujuk kepada bunyi individu sebagai sebuah “struktur-bunyi” (Strukturklang), sementara proyeksi horisotalnya diberi istilah “bunyi-struktur” (Klangstruktur).dia menyakini bahwa keduanya adalah sebuah kesatuan. Ketika Lachenmann mengkomparasi proses dari komposisi dengan membuat sebuah instrumen, dia mendeskripsikan sebuah susunan kemungkinan yang dapat dieksplorasi dengan “bermain”[8] instrumen itu. Sebaliknya, komposisi yang utuh dapat juga dipikirkan sebagai sebuah artikulasi dari timbre sebuah instrumen.
Pada sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 2013, Stefan Prins melihat kembali analogi Lachenmann. Ketika Lachenmann menggunakan instrumen-instrumen tradisional dari orkestra sebagai blok bangunan untuk instrumen metafornya, Prins mengajukan pertanyaan seberapa jauh blok bangunan dari instrumen berubah untuk seniman-seniman “penggubahan saat ini”,[9] dan apa konsekuensi dari perubahan. Dia menyimpulkan: “Saat ini, instrumen metafora ini tidak lagi terdiri dari sebuah orkestra, sebuah piano, saksofon atau tape recorder, tapi juga termasuk laptop, games-controller, sensor gerak, webcam, video-proyektor, midi-keyboard, protokol internet, algoritma-algoritma ... Meta-instrumen baru ini mematuhi sebuah jenis logika yang berbeda; ini membuat perbedaan ranah dari tensi; ini mempunyai perbedaan kemungkinan-kemungkinan dan perbedaan implikasi; ini menciptakan material yang berbeda dan menayanyakan pertanyaan baru. Ini secara darurat dalam kebutuhan dari mode-mode lainnya dari presentasi dan permintaan pendekatan-pendekatan lain oleh komponis.”[10]
Deskripsi dari meta-instrumen baru bergema secara baik dengan banyaknya praktik-praktik komponis bekerja di bidang yang diperluas.ini penting untuk dicatat bahwa blok bangunan yang Prins sebutkan tidaklah secara langsung berhubungan dengan musik atau seni. Pilihan-pilihan oleh karena itu menggambarkan kelolosan dari kategori-kategori yang mewujud dirinya sendiri dalam praktik-praktik di bidang yang diperluas. Pertanyaan yang menarik adalah, bagaimanapun, mengapa perubahan dari orientasi-orkestra kepada orientasi-instrumen media telah terjadi.
Sebuah penjelasan yang mungkin adalah apa yang disebut dengan kondisi pasca – media. Kebanyakan perangkat lunak-perangkat lunak komputer menggunakan elemen-elemen dari media tradisional sebagai tampilan antar muka: desain dari program penyunting kata berangkat dari mesik tik, digital audio workstation dari mesin pita, penyunting video dari penyunting video analog, dan lain sebagainya. Di bawah lapisan representasional ini, bagaimanapun, semua elemen-elemen spesifik-media yang mana alat penghubung tetap ada telah dilebur. Dari sudut pandang teknis, semua informasi terlihat sama dan dapat dipertukarkan pada level data. Dengan sedikit trik saya bisa mengimpor bunyi ke dalam program penyuntingan foto dan ini terlihat sebagai representasi dari data yang sama, – begitu juga sebaliknya – saya dapat mendengarkan noise dari foto-foto kucing favorit saya ketika saya mengimpor foto-foto tersebut ke program penyuntingan bunyi. Kedua pengkompresian tadi tidak akan mungkin dilakukan pada media yang sama pada format analog. Pada bukunya The Language of New Media, teoritikus media Lev Manovich merujuk pada lapisan dari user interface sebagai “lapisan kultural” dan lapisan teknis sebagai “lapisan komputer”. Dia berargumen bahwa saat ini media lebih dominan diproduksi di komputer, logika dari komputer dapat diekspektasi secara signifikan mempengaruhi logika tradisional dari media; yang mana, kita berekspektasi bahwa lapisan komputer dapat mempengaruhi lapisan kultural”.[11] Pendapat tandingan dapat dibuat untuk kebanyakan pengguna, fakta dari hal yang dapat dipertukarkan dari data bekas yang tersembunyi dan oleh karena itu bukan bagian dari pengalaman mereka. Bagaimanapun, meskipun tidak terlihat sebagai bytes dan bits, hampis setiap website, setiap blog, dan setiap tampilan dari media sosial saat ini menampilkan hal yang dapat dipertukarkan ketika gambar, data-data bunyi, data-data video, animasi flash dan teks secara natural bertempat tinggal bersebelahan satu sama lain pada halaman yang sama. Instrumen orientasi-media yang Prins deskripsikan mungkin berasal dari fakta bahwa kita telah menginternalisasi konvergensi media yang mana dihasilkan dari pertukaran data. Atau, pada istilah Manovich: Batasan-batasan antar disiplin terlihat lebih cair.dari sudut pandang ini, integrasi dari alat-alat non-musikal ke dalam sebuah komposisi, atau ekspansi dari satu media ke media lainnya, menjadi langkah alami yang harus diambil.
Sebuah alasan tambahan untuk perubahan instrumen mungkin juga terletak pada persepsi yang berbeda dari kesejarahan dan keadaan sosio-kultural bahwa komponis-komponis dari generasi yang lebih muda telah dibesarkan dengannya. Ini dapat dengan jelas terlihat pada persepsi yang berubah dari budaya pop, ketika dikomparasi kepada generasi komponis yang tumbuh pada diskursus pasca perang. Bagi kebanyakan komponis muda, gagasan bahwa budaya pop hanyalah wajah cantik dari industri budaya yang melumpuhkan rakyat dan menempatkan mereka pada logika sistem kapitalis[12] telah kehilangan kredibilitas. Pada lain kata, dominasi dari doktrin aliran Frankfurt telah luntur. Generasi muda kini dapat dengan mudah memeluk budaya pop, yang mana bukan berarti mereka tidak dapat mengobservasi mereka secara kritis. Tetapi budaya pop tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang hanya dikenakan pada mereka oleh sistem kapitalis; seringkali ini telah menjadi bagian dari identitas kultur mereka. Semenjak musik pop secara praktik telah dan selalu audiovisual,[13] ini adalah sebuah contoh lain dari permeabilitas dari media. Lebih jauh, permainan komputer, paparan yang luas terhadap filem dan kebanyakan dari Internet, dengan portal-portal seperti YouTube dan Vimeo juga menambah keunikan audiovisual.
3. Keterampilan
Komponis-komponis yang bekerja di bidang yang diperluas biasa dihadapkan dengan beberapa nomor tugas yang sangat berbeda dari keterampilan komponis yang diperoleh dari pendidikan klasik. Peran tradisional dari seorang komponis akan menyarankan bahwa sepanjang karir seseorang mengembangkan pemahaman yang semakin mendalam tentang musik sebagai sonic art dengan tradisi tertentu. Terutama, ini akan terjadi dengan pengembangan melalui pemahaman dan disebut pengetahuan terselung melalui praktik artistik seseorang. Seringkali ini berjalan seiring dengan perolehan dari analisa keterampilan, yang mana kemudian diaplikasikan kepada karya seseorang seperti juga mereka yang lainnya. Melalui studi dari karya-karya lama, sebuah pengertian yang lebih baik mengenai tradisi kesejarahan musik dan repertoarnya akan diperoleh, dan konteks terhadap praktik kontemporer akan lebih dimengerti.dengan mempelajari partitur dari kolega, membaca majalah-majalah yang relevan dan menghadiri festival-festival, seseorang akan memperoleh sebuah pertumbuhan kepedulian secara umum dari ranah seseorang dan bagaimana komponis—komponis kontemporer lainnya bekerja.
Ini, tentunya, sebuah generalisasi dan penyederhanaan yang kasar, tapi berdasarka pola-pola ini, yang mana kemungkinan terdengar familiar bagi setiap orang yang telah melalui sebuah edukasi akademis pada komposisi di dunia Barat, sebuah detail keahlian yang terperinci dan multi-segi dalam bidang yang sangat terbatas dan sebagian besar homogen akan dikembangkan.
Ketika bekerja di bidang yang diperluas, bagaimanapun, saya melihat banyak komponis berbelok ke arah orientasi yang berbeda, seringkali pada saat yang bersamaan.ini berjalan bersamaan dengan keharusan untuk berhadapan dengan permintaan-permintaaan, yang kebanyakan sebelumnya tidak dimiliki oleh keterampilan komponis-komponis yang diajarkan di akademis. Pada tahun 2016 saya memimpin wawancara terhadapa beberapa kolega yang bekerja di bidang yang diperluas dan menanyakan mereka apa keterampilan ekstra yang mereka harus pelajari untuk merealisasikan karya mereka. Berikut adalah daftar yang tidak komplit dari poin-poin tersebut: penggunaan perangkat lunak penyunting video, alat-alat VJ, filem dan kamera foto, bekerja dengan prosesor mikro, komputasi fisik, menyolder, menjahit, tata letak buku, dan masih banyak lagi. Daftar yang familiar dengan apa yang telah Prins kemukakan diatas. Biasanya para komponis mempelajari keterampilan ekstra ini secara ototdidak, jauh dari institusi akademik. Ini juga menjauhkan wacana khas, yang akan saya bahas lebih lanjut di bawah ini.
Selain keterampilan ini, para komponis pada ranah yang diperluas harus mempelajari latarbelakang dari displin-disiplin ke dalam apa yang mereka perluas: kesejarahan mereka, tradisi mereka, dan diskursus-diskursus terkini.
Menghadapi berbagai wacana dan tradisi biasanya rumit. Ketika memperluas ke ranah yang lain, homogenitas usaha seseorang tidak hanya terganggu pada tingkat materi, dimana orang hapir pasti harus bekerja dengan elemen-elemen yang berbeda. Homogenitas juga dipertanyakan dalam logikanya, urutan nilainya. Beberapa elemen yang mana mungkin baru bagi sebuah disiplin mungkin telah ditangani beberapa dekade yang lalu pada disiplin lainnya, dan oleh karena itu tidak sesuai dalam potensi ekspresif mereka. Kadang-kadang bisa sangat mengecewakan. Sebagai contoh, seseorang dapat sangat terkesima saat menemukan cara yang cerdas untuk merubah informasi pixel menjadi sintesis bunyi, hanya untuk menemukan ide yang sama sudah direalisasikan oleh para pembuat filem eksperimental pada tahun 1940an, yang menggambar suara mereka di filem secara manual. Namun, konfrontasi dengan diskursus yang berbeda, ide-ide dan nilai-nilai mereka, dapat menjadi stimulus dan memberi inspirasi.
Ini menjadi penting untuk dicatat bahwa ketika para komponis ekspansi ke disiplin yang lain, ini biasanya juga merubah pengertian mereka akan musik – bidang dimana mereka berangkat. Oleh karena itu, gerakan yang luas ini tidak hanya satu arah, tetapi juga merubah pengertian musik diantara para praktisinya.
4. Aksen dalam wacana
Pada paragraf-paragraf berikutnya saya akan mendiskusikan fakta bahwa para komponis yang bekerja di bidang yang diperluas tidak dapat mengandalkan pada sebuah diskursus yang konsisten dan homogen. Lebih kepada, mereka bekerja melintasi tambal sulam individual dari referensi diskursif yang heterogen yang mana dari beberapa “aksen” dari apa yang dulunya wacana yang lebih umum dibagikan.
Pendidikan tradisional pada komposisi yang dideskripsikan pada sub-bagian sebelumnya melacak bidang diskursif yang homogen. Saya ingin menyebut ini dengan tempat lahirnya wacana Musik Baru. Di dalam sebuah bidang, disana mungkin tetap terdapat ketidaksetujuan tentang bagaimana para individu menginterpretasi atau menilai karya dari sebuah pendahulu tertentu; sebagai contoh, tetapi pada umumnya akan ada pemahaman umum tentang tradisi bidang ini dengan sejumlah tokoh, karya dan acara. Diskursus-diskursus dari zona-zona nyaman yang mana nilai-nilai tertentu yang dominan dan mekanisme-mekanisme dari pengecualian melindungi integritas sistem dari kontradiksi-kontradiksi yang tidak diinginkan.[14] Sebagai contoh, interpretasi dari tulisan Ardono mempunyai fungsi sebagai sebuah mekanisme dari pengecualian, adapun beberapa dekade itu membenarkan pelepasan budaya pop di dalam diskursus Musik Baru.
Saya harus menunjukan bahwa saat ini, juga bagi kebanyakan komponis yang tidak bekerja pada ranah yang diperluas, diskursi dari Musik Baru telah kehilangan kredibilitasnya sebagai titik referensi, seperti yang ditunjukkan pada artikel Michael Rebhahen “Dengan ini saya mengundurkan diri dari Musik Baru”.[15] Ini adalah fenomena yang menarik yang saya tidak bisa jelaskan lebih lanjut di sini.
Saya beropini, bagaimanapun, dengan situasi dari para komponis yang bekerja di bidang yang diperluas tetaplah sebuah kasus yang spesial. Faktanya bahwa para komponis ini terkonfrontasi dengan sebuah keberagaman dari disiplin lain dan diskursus-diskursus berarti bahwa mereka tidak membangun karya mereka di dalam bidang diskursif Musik Baru yang terbatas dan disepakati. Dengan kata lain, karya mereka tidak dapat dimengerti hanya dengan sebuah diskursus. Pada saat yang sama, belum ada diskursus dari musik di bidang yang diperluas yang telah terjadi. Lebih kepada, para individu komponis yang memperluas praktik mereka merujuk kepada kumpulan dari diskursus-diskursus tambahan. Campuran dari referensi diskursif ini oleh karena itu mencerminkan keberagaman dari praktik-praktik dari setiap individu komponis. Jika, sebagai contoh, titik referensi Jagoda Szmytka dikomparasi dengan Yannis Kyriakides, mungkin masih banyak area yang tumpang tindih, tetapi mungkin juga beberapa elemen sepenuhnya terputus. Yang dulunya merupakan ladang homogen sekarang menjadi tambal sulam individual dari pulau diskursif. Musikolog Joanna Demers merujuk kepada situasi ini sebagai “aksen-aksen diskursif”: Seperti halnya aksen yang diucapkan sering menyampaikan pengetahuan tentang asal-usul pembicara, aksen diskursif ini ada sebagai penanda yang menunjukkan genre, gaya, atau media dimana sebuah karya jatuh.[16]
Ketika saya terbiasa dengan diskursus yang berasal dari suatu karya tertentu, saya seharusnya tidak memiliki masalah dalam memahami konotasi dan referensi dari budaya karya tersebut. Bagaimanapun, jika setiap karya yang dibuat di bidang yang diperluas sebuah campuran referensi atau pengaruh diksursif yang berbeda, ini akan menjadi sulit untuk menguraikan mereka. Ketika penguraian kode gagal, dengan demikian aksen berhenti berfungsi sebagai penanda dalam arti bahwa mereka mengarahkan kita ke konteks tertentu yang menerangi sebuah karya. Daripada menawarkan petunjuk, mereka menjadi bagian dari pengalaman artistik; penunjuk pelaka untuk “otherness”.
“Aksen diskursif, kemudian, ada dalam keadaan ambivalensi. Mereka bergantung, dan keadaan akan menentukan apakah mereka memasuki wilayah konsep atau fenomena permukaan”.[17]
“Kebingungan linguistik” ini mungkin terlihat sebagai sesuatu yang negatif. Lagipula, ketika aksen menjadi terlalu kuat, komunikasi gaggal dan hasilnya kebingungan Babylonia. Bagaimanapun, banyaknya aksen juga dapat memberikan vitalitas dan keaktifan yang unik dalam melatih seni kita. Ini dapat dipahami sebagai sebuah pengingat bahwa, seperti yang George Brecht telah katakan pada tahun 1946, “[...] batas-batas seni jauh lebih luas daripada yang tampak secara konvensional, atau [...] seni dan batasan-batasan tertentu yang sudah lama ada tidak lagi begitu berguna.”[18]
5. Naik turunnya parameter
Setelah Perang Dunia Kedua, fenomena bunyi di-dekomposisi pada fitur-fitur independen parameternya: nada, amplitudo, durasi, timbre, dan lain sebagainya. Pengaplikasian dari sebuah abstraksi difasilitasi melalui menanyakan pembentukan konotasi pada kebiasaan musikal yang mendominasi musik sampai pada paruh pertama abad ke 20. Pembentukan parameter adalah sebuah pendekatan yang tepat pada satu waktu ketika para komponis merasa dipaksa untuk secara fundamental mempertanyakan tradisi-tradisi musikal.[19]
Sekarang-sekarang ini, saya mengobservasi bahwa kriteria dari parameter baru telah bertambah yang mana pendekatan fenomena bunyi pada keseluruhannya dan penuh kompleksitas, dan tidak bisa digenggam dengan parameter dekomposisi dari bunyi. Oleh karena itu parameter-parameter penting kehilangan kekuatan, sementara sasaran-sasaran baru bertambah.
Sementra tidak mungkin untuk memeriksa semua kriteria tersebut, saya ingin mendiskusikan tiga hal yang juga mempunyai hubungan spesial pada bidang yang diperluas. Berikut adalah ketiga hal tersebut:
-
Intertektualitas
-
Fisik
-
Mode-mode mendengarkan/keekonomisan perhatian
5.1 Intertekstualitas
Indexicality dan intertekstualitas dapat dilihat sebagai metode-metode inti dari posmodernisme. Perbedaan antara istilah-istilah bahwa indexicality adalah sebuah elemen yang hanya menunjuk kepada sesuatu di luar karya itu sendiri, sesuatu yang musikal maupun non-musikal. Intertekstualitas merujuk pada konten terhadap destinasi yang dilibatkan. Ketika, sebagai contoh, Frédéric Chopin membuka karyanya “Études op. 10” dengan arrpegio-arrpegio dalam C mayor, dia membuat sebuah referensi indeksikal kepada pembukaan dari karya J.S Bach “Well-Tempered Clavier”, Buku 1. Dia menunjuk pada karya yang dikaguminya , tapi tidak mencoba untuk menimbulkan khas waktu, budaya, atau konteks yang Bach gubah dalam karya ini; dengan demikian ini bukanlah interktekstual. Bagaimanapun ketika, Public Enemy membuka lagunya “Bring The Noise” dengan contoh dari sebuah frase dari Malcolm X, ini adalah sebuah referensi intertekstual, seperti menunjuk pada keseluruhan pergerakan politik yang Malcolm X representasikan, sebagai tambahan kepada kualitas sonik dan semantiknya.
John Fiske lebih jauh membedakan antara intertekstualitas vertikal dan horisontal, dengan referensi penandaan sebelumnya di dalam media yang sama dan akhirnya pada lintas media lainnya.[20]
Kedua contoh yang sebelumnya disebutkan telah memberikan kesan dari keberagaman referensi yang digunakan pada karya-karya seni dalam arah untuk membuat hubungan dalam meta-level. Segala macam dari konseptualisme di musik bersandar pada permohonan dari makna-makna tambahan dari material-material khusus yang dibawa. Indexicality dan interkstualitas bukan hanya dominan – meskipun tidak ekslusif! – pembawa konten.
Saat ini, fokus pada potensi musik yang berfungsi sebagai penanda, untuk membangkitkan makna tambahan, dan untuk menyampaikan konten khusus adalah aspek penting dari kebanyakan komponis. “Makna adalah material yang baru”, begitulah yang Michael Beil deklarasikan.[21] Ini jelas terlihat pada pergerakan Konseptualisme Baru atau Diesseitigkeit, kedua pergerakan itu ada di Jerman. Bagaimanapun, intertekstualitas menambah hubungan di luar bidang-bidang ini, sebagai contoh pada karya Steven Takasugi, Brigitta Muntendorf, atau Sefan Prins.
5.2 Fisik
Wajah dari tubuh selalu menentukan musik pada cara instrument dibuat dan dimainkan. Sementara gagasan tradisional dari virtuositas sejak pertengahan abad ke 18 berfokus kepada kualitas tantangan teknikal dari sebuah partitur, pada arah “untuk menampakkan bentuk, esensi dan mengalirnya sebuah karya”,[22] beberapa komponis akhir-akhir ini menempatkan tubuh, dengan kekhususan dan batasannya, sebagai panggung utama. Pertumbuhan logika pemenuhan kebutuhan badaniah telah memimpin kepada pendekatan komposisi yang mana batasan dan kemampuan fisik, dan penubuhan telah memicu gagasan baru bukan hanya pada performans tapi juga pada cara mendengarkan.
Apa yang Jennifer Walshe sebut dengan “The New Disciplines”[23] menarik dengan kuat pada fokus ini pada fisik. Dengan mendeklarasikan sebuah disiplin baru, Wlashe menunjuk kepada fakta yang pertanyanaan yang berhubungan fisik telah menjadi perhatian bagi beberapa komponis. Pendekatan yang berbeda yang menempatkan pada topik ketubuhan juga dapat ditemukan pada karya dari Marco Donnarumma. Di sini, tubuh manusia terlibat pada sebuah konfigurasi teknologi dimana kekuatan fisik, usaha dan kegagalan ditampilkan.
Beberapa macam fisik juga dilibatkan oleh beberapa gaya dari musik elektronik yang bekerja pada amplitudo tinggi, dengan demikian menciptakan pengalaman haptic dari bunyi yang mana getaran dapat dirasakan pada kulit ataupun melalui tulang-tulang. Ini dapat ditemukan di drone dan power noise music, tapi juga pada setiap bentuk dari musik pop yang diekspektasi untuk dialami melalui tarian. Barangkali bentuk yang intens dapat ditemukan pada rave parties pada tahun 1990an.
Saya mengobservasi bahwa persepsi dari bunyi yang gemilang, dipasangkan dengan sensasi hapticnya, menciptakan sebuah pengalaman intens dari “disini” dan “sekarang” yang apapun yang telah dilalui menjadi terlupakan, atau lebih kepada diganti oleh pembukaan saat ini terhadap bunyi. Saya tidak fokus terhadap eksperimen ilmiah yang menginvestigasi korelasi antara memori musikal dan kebisingan tapi, pada konteks dari ekologi akustik, Augoyard dan Torgue juga menyimpulkan bahwa “ketika intensitas dari sebuah bising melampaui ambang batas, aktivitas mental dapat lumpuh”.[24] Ini mengindikasikan bahwa pengalaman fisik musikal yang intens mempunyai pengaruh terhadap memori musikal , dan mungkin oleh karena itu meminta perlakuan yang berbeda dari bentuk dan struktur. Dari perspektif ini, rave parties juga dapat dilihat sebagai sebuah praktik perfomans baru yang koheren dan perlakuan baru dari waktu musik. Seperti kritikus musik Simon Reynols bilang: “Ketika rock menghubungkan sebuah pengalaman [...] rave membentuk sebuah pengalaman. Dengan memotong jalur interpretasi, pendengar terhempas menuju pusaran air dari sensasi yang dipertinggi, emosi yang abstrak dan energi buatan.[25] Ini membawa saya kepada poin berikutnya: mode mendengarkan dan keekonimisan perhatian
5.4 Mode dari mendengarkan dan keekonomisan perhatian
Sejak lama, mendengarkan secara struktural sudah dipertanyakan lagi sebagai mode yang tepat dari persepsi musikal. Ini sudah “diniatkan untuk mendeskripsikan sebuah proses dimana pendengar mengikuti dan memahami realisasi yang terbentang, dengan semua rinci hubungan intinya, dari sebuah pembangkit konsepsi musikal”.[26] Di dalam bukunya “Listening Through The Noise”, Joana Demers memperkenalkan istilah “Aesthetic Listening” sebagai sebuah mode dari persepsi yang dia deskripsikan sebagai estetika yang utama daripada musikal. Ini “mengakui bahwa bunyi non-musikal dari dunia luar dapat mempunyai ketertarikan estetis dan bahwa kita dapat mendengarkan mereka lebih dari sekedar nilai informatif”.[27] Apa yang Demer deskripsikan dapat lebih jauh disubdivisi ke dalam mode dari mendengarkan sebagai teralih, biasa, yang berhubungan dengan alam; terfragmen atau pendengaran yang sebentar. Mode-mode mendengarkan ini mencerminkan perbedaan cara yang mana perhatian dapat diarahkan melalui bunyi, dan bagaimana kebiasaan dari konsumsi musik telah telibat melalui, antara faktor-faktor lainnya, perkembangan pada teknologi. Mendengarkan musik di klub, sebagai contoh, menyediakan sebuah situasi dimana orang-orang bergerak melalui cara-cara berbeda dari mendengarkan. Sejenak mereka mungkin dengan penuh poerhatian mendengarkan bagian musik yang mereka pikir menarik – pendengaran musikal – lalu mungkin mereka ambil bagian dengan musik melalui tarian – pendengaran fisik – dan setelah beberapa saat mereka mungkin mulai percakapan dengan teman – pendengaran teralih. Pada perjalanan pulang mereka mungkin meyetel pemutar MP3 dan mendengarkan beberapa lagu selama beberapa detik sebelum memindahkan ke lagu berikutnya – pendengaran yang terfragmen. Ketika di rumah mereka menyetel beberapa lagu yang membuat tenang pada pemutar stereo – pendengaran biasa. Beberapa mode mendengarkan ini mungkin benar-benar baru, dan lainnya selalu ada pada variasi yang lebih ringan. Poin yang penting, baaimanapun adalah bahwa kebanyakan dari mode-mode mendengarkan ini sejak lama telah dikenali sebagai “pendengaran regresif”,[28] dan oleh karena itu dianggap tidak bisa diterima dalam konteks artistik, mereka sekarang ini mengemansipasi diri mereka seccara estetis mode-mode sah dari persepsi dikebanyakan jenis musik kontemporer.
Ini dapat ditemui pada instalasi langsung, sebagai contoh, dimana para pemain terlibat pada cara yang sama kepada konser, sekipun tatanan biasanya mengizinkan pengunjung untuk datang dan pergi sesuka hati mereka. Juga, seseorang seringkali menemukan beberapa poin dari daya tarik secara bersamaan ditawarkan untuk perhatian. Sebagai contoh pada instalasi langsung dari Lars Petter Hagen atau François Sarhan yang telah ditampilkan pada International Summer Course for New Music terkini di Darmstadt. Namun dengan cara yang sama, konser musik seringkali mengkonfrontasi pendengar dengan tekstur-tekstur musikal dimana mendengarkan secara struktural tidak dapat terlihat sebagai sebuah pendekatan yang masuk akal, juga pada kebanyakan karya Peter Ablinger.
Berdasarkan pendekatan yang berbeda terhadap struktur dan memori, terpisah dari terduga amnesia yang disebutkan sebelumnya oleh volume tinggi, karya akhir dari Morton Feldman juda adalah contoh yang patut diperhatikan. Sudah beberapa dekade yang lau, dia merasa bahwa “memori-memori bentuk di musik adalah primitif”’[29] dan oleh karena itu bentuk musikal yang didekati dengan memperlakukan kelupaan sebagai sesuatu yang setara tidak kurang dari mengingat.
Kebanyakan dari mode-mode mendengarkan yang saya sebutkan di atas secara tidak langsung mendeskripsikan bagaimana perhatian kita fokus pada stimulus yang berbeda-beda. Sembari menerima begitu saja mendengarkan secara struktural, pertanyaan dari mengarahkan perhatian seseorang adalah sebuah isu. lebih kepada, perhatian pendengar telah diperlakukan seperti kanvas kosong yang mana musik terdengar akan terkesan dengan netralitas dan perpanjangan spasial dari sebuah paritur musik. Sejak naiknya kultur televisi dimulai, pembukaan terhadap jumlah dan format yang berbeda dari informasi sudah menjadi topik yang penting di dalam teori media.[30] Integrasi telpon pintar saat ini dan beberapa bentuk dari kecerdasan buatan kedalam kehidupan sehari-hari telah melatih kita untuk memperlakukan dan menyaring informasi pada cara yang secara substantial berbeda dari separuh abad yang lalu, oleh karena itu ini terlihat masuk akal bahkwa merefleksikan keekonomisan perhatian dan mode mendengarkan yang berbeda dapat menjadi sebuah aspek penting dari komposisi kontemporer.
5. Tiga kriteria di bidang yang diperluas
Saya secara spesifik memilih tiga kriteria ini sebagai contoh, sejak mereka juga terhubung pada beberapa cara praktik darik komponis yang bekerja di bidang yang diperluas. Intertekstualitas: meskipun tidak bukan bagian yang dibutukan di bidang yang diperluas, penggunaan beberapa media melipatkan kemungkinan-kemungkinan dari membuat referensi lahiriah dari macam-macam yang berbeda. Ketika melihat bermacam contoh dari karya-karya di bidang yang diperluas, ini kentara bahwa indeks-indeks intertekstual sering digunakan. Fisik: secara eksplisit bersepakat dengan tubuh manusia seperti yang dideskripsikan diatas telah memperluas praktik sendiri di dalam dirinya, seperti yang seringkali menjadi kesepakatan dari aspek-aspek dari seni performas dan pasca-teater dramatis. Mode dari Mendengarkan: perbedabaan antara bermacam mode-mode mendengarkan dan tingkah laku yang implisit dari perhatian tak bisa diacuhkan menjadi sebuah isu ketika sebuah nomor dari media berbeda yang digunakan, seperti kasus ketika bekerja di bidang yang diperluas.
6. Kesimpulan
Di dalam makalah ini saya telah mendeskripsikan beberapa pendekatan transdisiplin yang saya observasi diantara beberapa nomor signifikan dari para komponis kontemporer. Apa yang saya cari adalah bahwa berlawanan terhadap kebanyakan pendekatan tradisional terhadap intermedia, para komponis ini secara khas melibatkan media lainnya sebagai sebuah ekspansi dari makna musikal. Ini mengindikasikan bahwa ekspansi ke dalam domain dari media lainnya terjadi karena para seniman menemukan bahwa bunyi sendiri sudah tidak lagi memungkinkan untuk mengekpresikan ide musikal mereka. saya telah mengambil kebebasan untuk menyebut ini sebagai “Musik Di Bidang Yang Diperluas”.
Setelah menganalisa kondisi yang berkontribusi pada kenaikan perkembangan terkini, saya kemudian mengalamatkan sebuah nomor dari implikasi-implikasi yang menarik bahwa karya-karya di bidang yang diperluas bawakan. Saya fokus pada ekpansi dari set keterampilan bahwa para komponis ini harus menjadi master, yang mana seringkali tidak diajarkan di akademik. Meskipun para komponis yang saya diskusikan mempunyai latarbelakang akademis, mereka harus memperoleh beberapa kemampuan yang terpisah dari bingkai akademik, yang juga menjauhkan mereka dari diskursus akademik tertentu. Setelah itu saya mengalamatkan fragmentasi dari referensi diskursif yang mana seringkali terjadi di antara para komponis yang bekerja di bidang yang diperluas: dalam arah untuk mendeskripsikan fenomena ini, saya meminjam istilah Demers “aksen diskursif”. Dan akhirnya saya fokus pada Intertekstualitas, Fisik dan Mode Mendengarkan sebagai contoh kriteria yang saat ini menambahkan kepentingan untuk para komponis secara umum, tapi khususnya untuk mereka yang bekerja di bidang yang diperluas. Apa yang mencirikan kriteria-kriteria ini adalah bahwa mereka memperlakukan fenomena sonik sebagai entitas kompleks dengan bermacam lapisan dan konotasi, yang mana kontras dengan dengan kebanyakan pendekatan parameter abstrak terhadap bunyi yang mana dominan setelah Perang Dunia Kedua.
Dalam makalah ini, lalu, saya mencoba melempar beberapa cahaya pada fenomena dari bidang yang diperluas dari sudut yang berbeda satu sama lainya, dimulai dari aspek-aspek yang memperhatikan rinci sesuatu yang mendasar dari material komposisi sampai pada fenomena sosio-kultur yang besar seperti formasi dan pembubaran diskursus. Perhatian saya adalah untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang mencirikan praktik-praktik di bidang yang diperluas membawa perubahan yang memperbanyak pada level-level yang berbeda. Sebagai bentuk dari “estetika-estetika penuh kejadian”,[31] praktik-praktik di bidang yang diperluas biasanya multi lapis, bukan hanya karena kelamiahan innterdisiplin mereka tapi karena mereka juga terjangkar di bermacam diskursus. Mereka seringkali mematahkan homogenitas, “berbicara” dengan aksen-aksen yang berbeda, dan dengan demikian membawa sebuah pergeseran pada resepsi dan persepsi. Menurut pendapat saya, mereka relefan karena mereka membentuk renspon khusus – meskipun memang bukan satu-satunya – kepada situasi kita hidup sekarang ini.
Penghargaan
Kebanyakan dari deskripsi yang ditemukan pada makalah ini adalah berdasarkan wawancara melalui surat elektronik yang saya lakukan pada tahun 2016 dengan beberapa kolega, yang saya lihat bekerja di bidang yang diperluas. Saya ingin mengekspresikan rasa terima kasih kepada Michael Beil, Cathy van Eck, Johannes Kreidler, Yannis Kyriakides, Stefan Prins dan Jennifer Wlashe yang telang memberikan saya jawaban yang berharga terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Juga, saya ingin berterima kasih kepada Alyssa Aska dan Matthew Sholomowitz atas tanggapan mereka terhadap versi draft dari makalah ini.
TULISAN INI DITERJEMAHKAN DARI JUDUL ASLI “Music in the Expanded Field – On Recent Approaches to Interdisciplinary Composition”, oleh: Marko Ciciliani.
Versi Audio dari ceramah Marko Ciciliani soal topik ini: https://voicerepublic.com/talks/wide-is-the-new-deep
[1] Rosalind E. Krauss, “Sculpture in the Expanded Field”, in The Originality of the Avant-Garde and
Other Modernist Myths, Massachusetts 1 986, hal. 277.
[2] Ibid., hal. 288.
[3] Jennifer Walshe, koresponden pribadi surat elektronik pada August 6, 201 6
[4] Ibid.
[5] Dikutip dari Michael Nyman, Experimental Music, Cambridge, UK 1 974/1 999, 2nd Ed., hal. 1 1 .
[6] Seth Kim-Cohen, In the Blink of an Ear – toward a non-cochlear sonic art, New York 2009, hal. 249
[7] Helmut Lachenmann, Musik als existentielle Erfahrung, Wiesbaden, 1 996, hal. 77, terjemah. Oleh penulis.
[8] Ibid., hal. 79.
[9] Stefan Prins, “Componeren Vandaag: Luft von diesem Planeten”, Seasonal Brochure of the Klangforum Wien 201 3/1 4, Vienna, 201 3 (pp.1 8 f), hal .1 8.
[10] Ibid., hal. 1 9.
[11] Lev Manovich, The Language of New Media, Cambridge, 2001 , hal. 46.
[12] Lihat Theodor W. Adorno, Philosophie der neuen Musik, Frankfurt am Main, 1 948/1 995, hal. 23 f.
[13] Lihat Diedrich Diederichsen, “Sound and Image Worlds in Pop Music”, in Dieter Daniels / Sandra
Naumann (eds.), Audiovisuology 2 Essays, Cologne, 201 1 , hal. 1 21 .
[14] Lihat Michel Foucault, Die Ordnung des Diskurses, Frankfurt am Main, 1 991 , hal. 1 5.
[15] Michael Rebhahn, “I hereby resign from New Music”, in Darmstädter Beiträge zur Neuen Musik,
Vol. 22, Mainz, 201 4.
[16] Joanna Demers, “Discursive Accents in Some Recent Digital Media Works”, in Carol Vernallis
et al (eds.), The Oxford Handbook of Sound and Image in Digital Media, New York, 201 3, hal. 1 41
[17] Ibid., hal. 1 49.
[18] Dikutip pada Nyman, Experimental Music, op. cit., hal. 77.
[19] lihat Walter Gieseler, Komposition im 20. Jahrhundert, Celle, 1 975, hal. 33 f.
[20] Lihat John Fiske, Television Culture, London, 1 987/201 0.
[21] Michael Beil, koresponden pribadi surat elektronik pada 2 Agustus, 2016
[22] Jennie Gottschalk, Experimental Music since 1970, London, 201 6, hal. 77.
[23] Jennifer Walshe, http://www.borealisfestival.no/201 6/the-new-discipline-4/ (diakses 13 Juli, 201 7).
[24] ean-Francois Augoyard/Henry Torgue, Sonic Experience: A Guide to Everyday Sounds, Montreal,
2005, hal. 41 .
[25] Simon Reynolds, Energy Flash: A Journey Through Rave Music and Dance Culture, Berkeley,
1 998, hal. xxv.
[26] Rose Rosengard Subotnick, Deconstructive Variations, Music and Reason in Western Society,
Minneapolis, 1 995, hal. 1 49.
[27] Joanna Demers, Listening through the Noise – the Aesthetics of Experimental Electronic Music,
Oxford, 201 0, hal. 1 6.
[28] heodor W. Adorno, “On the Fetish Character in Music and the Regression of Listening”, in Essays
on Music, Berkeley 2002, dikutip pada Demers (201 0), op. cit.
[29] Morton Feldman, Essays, Kerpen, 1 985, hal. 206.
[30] lihat Fiske, Television Culture, op. cit.
[31] Matthew Sholomowitz, perbincangan pribadi lewat Skype pada 21 Juli , 2017