KOMPONIS DAN TAMAN BERMAINNYA
Saat ini tidaklah mungkin lagi bagi para seniman pen-cipta karya seni hanya mengandalkan bakat alam, naluri, intuisi, perasaan dan spontanitas saja. Walaupun faktor-faktor alami seperti itu memang sangat penting, tapi tak mencukupi. Karena bagaimana pun kesenian adalah rekayasa peradaban manusia, maka, sesuai kodratnya sebagai mahluk pencipta “sang pencipta kecil” karya komposisi yang baik adalah karya yang melibatkan banyak kekuatan daya rekayasa manusia dalam segala kemampuan nalarnya (Dari Hal Penciptaan Seni: prinsip-prinsip dasar studi komposisi musik, Suka Hardjana, 2013 hal 5).
Tulisan di atas merupakan sebuah cerminan tentang apa yang sedang terjadi di dunia komposisi musik masa kini. Komponis saat ini bukan hanya seseorang yang mengkomposisi nada-nada dan bunyi di dalam kanvas waktu yang dibimbing oleh fantasi, bakat alam, naluri, intuisi, perasaan dan spontanitas saja. Dibalik itu, mereka juga menggoreskan pemikiran, perlawanan, bahkan inovasinya.
Ada banyak jejak yang dapat kita telusuri dari hasil karya dan pemikiran mereka, disadari atau tidak, karya-karya mereka telah merevolusi banyak hal. Mulai dari merevolusi bahasa musik itu sendiri, merevolusi aspek-aspek teknis yang berdampak bagi para musisi, bahkan merevolusi batasan-batasan musik itu sendiri. Di dalam tulisan ini penulis ingin mencoba mengajak pembaca untuk bertamasya menelusuri jejak- jejak kekuatan daya rekayasa manusia dalam segala kemampuan nalarnya di dalam diri seorang komponis.
KOMPONIS SEBAGAI JURU KUNCI
Karya maupun pemikiran dibalik karya dari seorang komponis bukan hanya sebuah bebunyian maupun nada-nada yang hanya akan berdampak pada si pembuat karya. Dibalik karya dari komponis , terdapat beberapa contoh bagaimana komponis dan karyanya dapat memberikan sumbangsih dan merevolusi bahkan mempertemukan musik dan disiplin lain.
Sebut saja Helmut Lachenmann dengan konsep musique concrète instrumentale, melalui konsep musik concrete instrumentale ini Lachenmann membuka horizon di wilayah gramatika musik dan perluasan gramatika musik itu juga berpengaruh terhadap cara pemain memainkan instrumen musiknya dimana Lachenmann merombak teknik permainan instrumen-instrumen musik konvensional untuk menghasilkan bunyi-bunyi yang ia inginkan.
Selain Lachenmann ada juga komponis yang memberikan sumbangsih di wilayah lain, namanya adalah John Chowning ia adalah komponis yang menemukan algoritma FM sintesis, temuannya ini ia terapkan ke dalam karyanya yang berjudul stria, selain menerapkannya ke dalam karya, temuannya ini dilirik oleh Yamaha dan diaplikasikan dan dikomersialkan kedalam produknya yaitu Yamaha DX7.
Selain dari konsep karyanya sendiri, terdapat juga komponis yang membuka horizon baru di wilayah riset. Sebut saja Pierre Boulez, pada tahun 1970an Pierre Boulez menorganisir IRCAM (Institut de Recherche et Coordination Acoustique/Musique). IRCAM adalah sebuah institusi untuk riset musik yang ternama di prancis, dan beberapa konsep elektronik musik dan prosesing audio lahir di sini.
Di IRCAM juga beberapa tokoh mulai mengembangkan idenya, sebut saja Jonathan Harvey, Miller Puckette, John Chowning dan lain sebagainya. Mereka juga mulai mengembangkan risetnya di sini, sebut saja Miller Puckette yang pada awalnya mengembangkan Max sebuah perangkat lunak yang mana akan menjadi grapical programming MAX/MSP yang dapat mengakomodir kebutuhan prosesing, manipulasi audio secara langsung.
Selain MAX, Miller Puckette juga melahirkan perangkat lunak yang hampir sama dengan MAX yaitu Pure Data yang juga mengakomodir kebutuhan performa manipulasi audio secara langsung (real-time) yang saat ini banyak digunakan oleh komponis untuk mengakomodir ide-idenya untuk memanipulasi bunyi secara Real-Time. Selain Miller Puckette, terdapat juga Jonathan Harvey yang mengembangkan sebuah perangkat lunak Orchidée yang dikembangkan di IRCAM dan diaplikasikan untuk karyanya.
Selain gagasan-gagasan kekaryaannya yang membuka horizon baru di wilayah gramatika musik, dan juga mengorganisir IRCAM yang berguna sebagai institusi riset musik bagi generasinya dan generasi setelahnya. Pemikiran-pemikiran Pierre Boulez juga memancing beberapa tokoh di luar musik untuk membahas dirinya. Sebut saja Gilles Deleuze yang menulis tentang Pierre Boulez di dalam tulisannya yang berjudul Boulez, Proust and Time: “Occupying without Counting”. Salah satu topik yang ditulis Gilles Deleuze adalah hubungan antara Boulez dan Proust, hubungan tersembunyi yang menurut Gilles Deleuze sering muncul ditulisan Boulez karena Boulez seringkali mengkutip Proust di dalam tulisannya.
KOMPONIS DI ANTARA BUNYI DAN TEKS
Di antara gagasan yang mereka aplikasikan ke dalam karya mereka, banyak juga komponis yang menulis buku, artikel dan lain sebagainya. Sebut saja Arnold Schoenberg, Alfred Schnittke, Pierre Boulez, Olivier Messian, James Tenney, John Cage, Helmut Lachenmann. Lewat tulisan-tulisannya mereka bukan hanya menuangkan gagasan kekaryaan, namun juga mereka menulis tentang perkembangan musik itu sendiri dan tidak jarang mereka menggunakan tulisan mereka sebagai kritik atas karya komponis lain seperti tulisan Pierre Boulez yang berjudul Schoenberg is Dead.
Selain kritik, komponis-komponis juga menuliskan fenomena yang terjadi pada dunia komposisi musik yang sedang terjadi seperti pada tulisan Alfred Schnittke Polystylistic Tendencies in Modern Music. Di dalam tulisannya Schnittke membeberkan bukti-bukti keberadaan fenomena komposisi musik polystyle (baca: multigaya). Ia membagi kecendrungan komposisi multigaya ke dalam 2 tipe, yaitu tipe quotation (kutipan) dan allusion (kiasan).
Tipe pertama adalah tipe kutipan dimana para komponis mengkutip bahasa musik dari masa lampau dan juga dari budaya yang berbeda. Bukan hanya gramatikal musiknya saja yang dikutip, tapi beberapa komponis itu juga tidak segan-segan untuk mengkutip karya komponis lain dan menjadikan kutipan itu sebagai bagian materi karyanya. Seperti dalam karya George Crumb Dream - Images (Love-Death Music) dari seri Makrokosmos I, di dalam karya ini Crumb dengan gamblang mengkutip beberapa bagian dari karya F. Chopin – Fantasie Impromptu. Dan Alfred Schnittke sendiri pun melakukan hal yang sama di dalam karyanya Symphony No. 1, di dalam karya ini Schnittke mengkutip Beethoven – Symphony No. 5 dengan gamblang. Tipe kedua adalah kiasan dimana komponis hanya seperti (baca: terdengar) mengkutip gramatika atau materi musik karya komponis lain.
Walaupun judul tulisannya polystylistic tendencies in modern music, sebetulnya fenomena yang terjadi adalah kecendrungan penerapan estetika postmoderisme seperti pastiche atau parody. Sangat bertolak belakang sekali dengan karakter musik “moderinsme” yang otonom, formal, dan lain sebagainya seperti yang terjadi pada serialisme integral. Di dalam tulisan-tulisannya yang disatukan menjadi buku a Schnittke Reader, Schnittke tidak hanya membahas tentang fenomena komposisi musik multigaya saja tetapi ia juga membahas dan menganalisa musik-musik dari komponis sejamannya.
Begitulah kiranya sedikit gambaran apa saja yang dilakukan seorang komponis disamping kegiatannya menulis nada di partitur atau menyusun algoritma bunyi yang akan dipentaskan dengan komputer. Apakah contoh-contoh di atas masih bisa mempertahankan kesan kita bahwa komponis adalah hanya seseorang yang sedang tidur siang lalu bermimpi bertemu dengan unicorn dan terbangun dan serta merta menuliskan mimpinya ke dalam notasi?
YOGYAKARTA, 10 JUNI 2017