top of page

Kursus Komposisi Solidaritas dan Renungan Pribadi.

 

 

Beberapa hari yang lalu saya mengikuti sebuah kursus komposisi musik yang diinisiasi oleh Raphaël Cendo dan Misael Gauschat. Kursus ini dinamakan Solidary Composition Course yang mempunyai ide untuk memberikan sarana edukasi di tengah masa pandemi secara gratis, terbuka dan diadakan secara daring. Acara ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah sesi kuliah pribadi dengan para pengajar yang dikhususkan untuk para komponis muda yang “terpilih” lewat jalur seleksi, sesi kedua adalah sesi masterclass yang dibuka untuk publik.

Ada beberapa nama yang didaulat sebagai pengajar seperti Raphaël Cendo, Colin Roche, Philippe Manoury, Lara Morciano, Mauro Lanza, Dmitri Kourliandski, Antonie Maisonhaute, dan Max Bruckert. Masing-masing pengajar memberikan kuliah pribadi kepada para komponis muda dan juga “membedah” karya mereka dan dipresentasikan secara terbuka.

Philippe Manoury membuka sesi masterclass pertamanya dengan mempresentasikan karya orkestranya “La Trilogy Köln”. Pada presentasi ini Manoury menjelaskan 3 bagian dari trilogi tersebut, dan salah satunya adalah Ring. Ring sendiri mengusung konsep perombakan hirarki posisi instrumen di dalam sebuah orkestra yang biasanya dibagi menjadi beberapa susunan keluarga instrumen (gesek, tipu kayu, tiup logam, perkusi dan sebagainya). Di dalam Ring, Manoury merubah tatanan tersebut dan menempatkan beberapa kelompok instrumen mengelilingi gedung konser. Kelompok instrumen ini sendiri tidak dibagi seperti biasanya berdasarkan keluarga instrumen, namun kelompok instrumen tersebut terdiri dari campuran instrumen.

Perombakan tatanan instrumen pada formasi orkestra ini selain berpengaruh pada aspek visual, juga sangat berpengaruh terhadap persepsi bunyi, karena instrumen dibiarkan mengitari audiens dan juga audiens disajikan dengan tatanan pengelompokan instrumen yang tidak biasa karena setiap kelompok terdiri dari beberapa jenis instrumen yang berbeda. Di sini audiens disajikan dengan keberagaman kombinasi warna bunyi yang mengeilingi mereka. Yang juga menarik, posisi ini membuat audiens kehilangan arah daya antisipasi momentum bunyi yang biasanya bisa dilihat melalui gestur pemain (sebagai contoh gestur pemain ketika memainkan bunyi yang keras), karena audiens tidak dapat melihat apa yang terjadi disekeliling mereka (secara visual).

 

Sesi masterclass terbuka lainnya diisi oleh beberapa pengajar seperti Antoine Maisonhate dari TANA string quartet. Maisonhate membahas segala kemungkinan teknik baik teknik konvensional maupun teknik baru yang bisa diterapkan pada instrumen violin. Yang menarik adalah ketika Maisonhate mempresentasikan tentang Guiro Bow, sebuah bow dengan modifikasi dibagian kayu agar bisa menghasilkan bunyi seperti instrumen Guiro. Bow ini sendiri tercipta atas “kerjasama” antara TANA string quartet dan Cendo dalam menemukan bunyi yang Cendo inginkan.

Selain Maisonhate, ada juga Dmitri Kourliandski yang membahas karyanya “Possible Places”, Max Brucket dengan pembahasan mengenai VCV rack (sebuah aplikasi modular digital), Mauro Lanza yang membahas tentang karyanya bersama Adrea Valle berjudul “Systema Naturae”, dan Colin Roche yang membahas tentang latar belakang ide di karya-karyanya.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa kursus ini dibagi menjadi dua bagian, masterclass dan kelas individu. Di kelas individu penulis berkesempatan untuk belajar dengan Lara Morciano dan Raphaël Cendo. Kelas berjalan seperti biasa dimana pengajar melihat partitur dan mendengarkan karya para peserta, dan setelah itu mereka memberikan komentar, kritik dan masukan. Yang masih teringat jelas di dalam benak penulis adalah ketika Raphaël Cendo memberikan 4 nasihat kepada para peserta:

 

1. Kuatkan bunyimu.

2. Bangun konsep yang kuat karena ini yang akan membuatmu terlihat diantara banyaknya komponis.

3. Tuliskan gagasanmu (berhubungan dengan poin kedua).

4. Musik untuk musik ok, tapi buatlah senimu berbicara, dalam konteks hal-hal di luar musik.

Sesi masterclass dengan Cendo membuat penulis berpikir, poin 1-3 memang sepertinya sangat penting, dan banyak komponis yang menonjol melakukan 3 hal tersebut seperti Lachenmann dengan musique concrete instrumentale, Cendo dan “gengnya” dengan musik saturasi, Kreidler dan “gengnya” dengan konsep musik, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Pikiran ini terus bergejolak di dalam benak penulis, dan memunculkan beberapa pertanyaan: Apakah ini yang menjadi poin penting untuk komponis dari Indonesia agar dilihat dengan posisi yang sama dan tidak hanya didengar sebagai sesuatu yang “eksotis” saja? Dengan cara membangun konsep yang kuat, serta mempresentasikannya ditengah gempuran-gempuran konsep dari komponis lain di dunia ini. Akhirnya penulis mediskusikan hal ini dengan Dieter Mack, komponis yang sedikit banyak mengalami apa yang terjadi di ranah komposisi musik di Indonesia. Berikut adalah jawabannya:

 

Empat point dari Raphael saya setuju, tetapi perwujudannya tidak bisa dipaksakan. Terutama point dua ada proses yang membutuhkan waktu. Saya sendiri (kalau melihat ke belakang) tidak bisa menentukan kapan saya merasa stabil. Bahkan stabilitas itu juga ada bahayanya, sebab bila seorang komponis hanya mengulangi sesuatu terus-menerus, itu juga membosankan. Lihat Helmut Lachenmann: Konsep “musique concrete instrumentale” dirumuskan akhir tahun 60an, dan musiknya tetap mengubah bahkan menjadi lebih „konvensional“ („Grido“, „Concertini”), tetapi bukan dalam arti negatif. Atau Luigi Nono: Pada mulanya aspek serialisme dan unsur politis sangat menojol. Tiba-tiba pada tahun 1980an muncul “An Diotima…” untuk kuartet gesek yang mengabaikan segalanya yang ada sebelumnya. Dan kedua komponis belum pernah mengikuti sebuah “geng”.

Mengenai “geng-geng” sekarang. Ini sangat beda satu sama yang lain: Kreidler & Co, mereka hanya pintar dan mampu mengeksploitasi system musik kontemporer. Dan untung mereka mendapat filosof (Harry Lehmann) yang sangat memihak dengan tulisan yang amat püerlu diragukan (Hal yang sama ada pada awal tahun 50 an dengan Adorno). Tentu mereka juga mampu, tetapi kebanyakan mereka hanya menyebarluaskan ideologinya dengan mulut secara keras-kerasan. Pada MusikTexte jilid 151 ada jawaban kepada mereka oleh Helmut Lachenmann yang hebat sekali. Saya sendiri amat mengritiknya dalam satu artikel yang akan diterbitkan sebentar lagi dalam buku dengan koleksi tulisan saya. Maka geng ini hanya tahu bagaimana menipu sistemnya (sebenarnya Kreidler pintar dan mampu sekali, tetapi dia suka memainkan pernan seperti terjadi saat ini).

Raphael Cendo, Yann Robin dan Frank Bedrossian tidak menjadi geng secara sengaja. Ini ditentukan oleh jurnalis dan musikolog. Sama halnya dengan “geng” lain. Kalau kamu tanya kepada para komponis sendiri, mereka kebanyakan lebih merasa sebagai orang sendiri. Mahnkopf pun akhirnya gagal dengan determinasianya apa yang „benar dan yang tidak benar“. Lalu bagaimana dengan Enno Poppe, Oliver Schneller, Johannes Schöllhorn, saya sendiri? Apakah kami anggota sebuah geng? NO.

Dan untuk komponis seperti kamu, jangan dianggap bahwa masih dilihat sebagai orang „eksotis“. Zaman ini sudah selesai. Namun di sisi lain, tidak salah kalau kalian menanyakan diri, dimana sosok seorang komponis Indonesia? Sejarah dan filsafat seorang komponis Indonesia harus beda daripada komponis Eropa. Di Indonesia tidak ada zaman pencerahan, tidak ada historzisme ala Adorno, tidak ada postmodernisme etc. (semua ini berkaitan dengan sejarah Eropa!), akan tetapi ada zaman penjajahan dan banyak musik etnis yang masih menarik sekali. Yang mesti „eksotis“ untuk komponis Indonesia adalah kami di Eropa!

 

Menulis tentang pemikiran dan karya sendiri saya kira bagus dan penting. Saya selalu melakukannya sebagai „Laporan kerja saya untuk saya sendiri“. Dan jangan mengharapkan kalau hari ini dilakukan sesuatu, besok semua akan mengubah. Sekali lagi semua adalah proses, dimana kita semua tidak kenal tujuannya. Barangkali lebih baik begitu.

 

Ya, sejarah musik menunjukan bahwa komponis melahirkan konsep-konsep, metode-metode yang menjadi trademark mereka, dan sedikit banyak mendapat pengaruh dari lingkungan pribadi dan latar belakang budaya masing-masing. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka pun meninggalkan gagasan lama mereka dan beralih ke sesuatu yang lain, bertransformasi menjadi bentuk yang baru. Seperti yang Dieter Mack simpulkan di dalam jawabannya: Sekali lagi semua adalah proses, dimana kita semua tidak kenal tujuannya. Barangkali lebih baik begitu.

Di dalam kamar, 23 Januari 2021.

SEPTIAN DWI CAHYO

bottom of page