MODERNITAS KEDUA – SEBUAH PERCOBAAN PENAKSIRAN
Oleh Claus Steffen Mahnkopf
Diterjemahkan oleh Septian Dwi Cahyo
Istilah “Modernitas Kedua” bagaimanapun sementara waktu, merujuk, kepada apa yang mengikuti posmodernitas – “mengikuti” keduanya dalam arti pergerakan temporal dan dalam arti menarik kesimpulan estetis. Untuk membicarakan modernitas kedua menyiratkan bahwa salah satu tesis utama posmodernitas, yaitu bahwa sejarah telah mencapai akhir dan postmodernisme telah mengatasi modernisme sekali dan untuk selamanya adalah salah. Di musik, modernitas kedua adalah sebuah pendekatan yang mematahkan dasar keyakinan dari posmodernitas. Utamanya adalah kepercayaan bahwa materi musik yang modern, baru, dan inovatif tidak lagi mungkin dan oleh karena itu segala macam material, terlepas dari sejarahnya, gaya dan fungsi konteksnya sama-sama dapat digunakan, dan karena alasan ini gaya konsistensi diri dengan referensi ke masa kini tidak mungkin dan tidak diinginkan.
Salah satu dari keunggulan modernitas kedua adalah fakta bahwa ia tidak berbagi ajaran-ajaran ini. Modernitas kedua memberi perhatian pada gaya yang kohesif – yaitu gaya-gaya yang koheren dalam arti teknik, material dan semantik – menggunakan materi modern, elemen-elemen yang dikembangkan saat ini. Modernitas kedua tidak mendefinisikan dirinya secara negatif sebagai penolakan atas posmodernisme, bagaimanapun, juga secara positif, dengan mengekspresikan solidaritas dengan ajaran-ajaran modernisme klasik (baca: modernisme pertama) dan garda depan. Yang mana percaya pada eksperimentasi, inovasi, dan keyakinan bahwa konstruksi, sebagai contoh, validasi teknik dari diskursus musik, sangat diperlukan.
Bagi modernitas kedua tidaklah sesederhana gerakan balasan atas posmodernisme dan solidaritas akan moderisme tinggi; sejauh itu berkembang, itu akan membawa karakteristik estetika baru, dengan harapan, memiliki masa depan. Modernitas kedua berarti bekerja pada proyek utama dari masa depan yang terbuka dimana seniman dapat bertujuan untuk produktif.
Orang dapat melirik komponis-komponis yang berusia 50an (pada saat tulisan ini ditulis), kita dapat mengamati panorama yang beragam dari berbagai posisi yang berbeda dan dapat dianggap sebagai bagian dari modernitas kedua. Memberikan gambaran tentang ini hanya mungkin bagi seorang yang melakukan pekerjaan komponis tersebut untuk pemeriksaan yang tepat dengan empati dan ketelitian. Orang harus memperhitungkan komponis-komponis yang sudah dianggap sebagai bagian dari modernitas kedua misalnya: Mark André, Richard Barret, Pierluigi Billone, Aaron Cassidy, Chaya Czernowin, Sebastian Claren, Frank Cox, Liza Lim, Claus Steffen Mahnkopf, Chris Mercer, Brice Pauset, Enno Pope, Wolfram Schurig, Steven Kazuo Takasugi, Ming Tsao, Franck Yeznikian dan lainnya yang juga layak disebutkan di bawah judul yang sama. Siapapun yang ingin memulai studi semacam itu harus mempertimbangkan individualitas masing-masing pendekatan sebagai konstelasi yang unik dari estetika, teknik, material dan semantik. Dengan gambaran dari keseluruhan situasi, dapat dikatakan bahwa komponis yang disebutkan di atas, dengan segala perbedaanya, terhubung melalui beberapa karakteristik – orang hampir bisa berkata: melalui kategori nilai-nilai yang umum seperti di bawah ini:
-
Mereka mengkomposisi karya (baca: karya musik). Dan juga melakukannya bersamaan dengan keterlibatan kritis dengan konsep karya. “Karya” berarti entitas yang dikonstruksi, melalui penyusunan dengan batasan internal dan eksternal yang jelas, bukan sebuah pengaturan eksperimental dengan hasil yang tidak pasti. Pengalaman Garda Depan bahwa karya juga bermasalah tidak masuk ke dalam bentuk itu, tetapi lebih kepada resistensi, ekspresi yang menyimpang dari musik.
-
Mereka mengkonstruksi material mereka sebagai sebuah material yang otonom. Perbedaan antara modernitas kedua dengan modernitas pertama disini adalah bahwa sekarang progres dari material, inovasi material, dan fiksasi – yang juga direduksi sebagai atau kepada gaya seseorang tidak lagi menjadi pusat perhatian. Itu diterima begitu saja bahwa materinya modern, namun bisa, tergantung pada karya – Harry Lehmann[1] mengemukakan bahwa karya mempunyai substansi yang bervariasi. Kesuksesan estetis dari sebuah karya tidak sedikit tergantung pada sebuah persetujuan antara material-material yang dipilih dan konsepsi karya, dan ini adalah konsepsi yang mengatur konstruksi dari material. Ini meyakinkan bahwa material adalah bukan seperti posmodernisme yang ditangani secara sewenang-wenang.
-
Para komponis modernitas kedua menganggap sikap kritis terhadap budaya kontemporer, dan oleh karenanya tidak dimotivasi dengan kepentingan karir. Mereka tertarik kepada perkembangan dari gaya pribadi mereka, kepuitisan mereka, dan hidup karya mereka, tidak sekedar memuaskan kepentingan mutakhir. Sebagaimana budaya hari ini berlanjut menjadi posmodern, dan dengan demikian “memainkan permainan ironi dengan senang hati” dan diarahkan pada “hiburan”, seni modernitas kedua menempatkan dirinya sebagai oposisi dari hal tersebut dan menekankan pada keseriusan dan kejujuran artistik.
-
Para komponis modernitas kedua telah tercerahkan secara estetis di dalam pemikiran mereka dan waspada terhadap teknik komposisi mereka. Yang sebelumnya berarti bahwa mereka bekerja pada aporiae yang tidak terpecahkan dari posmodernisme (namun juga modernisme klasik dan garda depan) sebagai masalah, yang terakhir bahwa ini terjadi tidak hanya dalam hal folosofi artistik itu sendiri, sehingga untuk berbicara sebagai deklarasi niat, tetapi lebih dalam proses melalui rasionalitas tindakan komposisi.
Tidaklah sulit untuk mengatakan dari keempat karakteristik di atas bahwa tidak semua generasi komponis yang lebih muda secara otomatis dianggap bagian dari modernitas kedua. Modernitas kedua bukanlah sebuah periode, pembagian temporal, generasi tertentu, namun lebih kepada sebuah konsep kualitatif (mengesampingkan fakta bahwa beberapa komponis berharap tidak terlibat dalam modernitas kedua, atau setidaknya diskusinya). Ini tidak dapat dihindari bahwa sikap posmodern, garda depan, anti modern, dan modern (dalam arti modernitas pertama) akan terus berlanjut eksis dan melakukannya secara mandiri dari usia mereka yang menampilkannya.
Ini akan terlihat sangat diperlukan untuk menunjukan bahwa modernitas kedua adalah sebagai sesuatu yang beraneka ragam dan dibedakan secara internal – sebagai plural, orang dapat berkata – sebagai semua seni dan semua waktu berlalu. Perbedaan penekanan estetika dan karakter, perbedaan latar belakang budaya dan sensitifitas secara alamiah berdampak kepada pendekatan dari individu seniman. Orang dapat dengan demikian membedakan antara positivist dan negativist, sekuler dan relijius, optimistik dan pengunduran, ekspresionis dan impresionis, orientasi-bunyi dan orientasi-diskursus, constructivist dan deconstructivist, holistik dan dislocatory, terpusat dan multi perspektif, formalis dan kecendrungan narativist. Terbukti satu menemukan seluruh spektrum dari tipe-tipe ekspresif yang berkembang melalui modernitas.
*
Seperti yang biasa terjadi, teori seni lebih cepat dari sasaran: pada tahun 1994, Heinrich Klotz mempublikasi sebuah buku dengan kronologis tripartit dari skema temporal yang secara alami memiliki inti yang sistematis: Moderne – Posmoderne – Zweite Moderne.[2] Diantara yang lainnya, Klotz menemukan sebuah modernisme kedua di bidang arsitektur (sesuatu lahan yang sama dimana debat posmodern di kesenian telah diangkat dengan penuh semangat, dan kemungkinan juga dengan begitu meyakinkan), yakni di arsitektur dekonstruktivis, direpresentasikan oleh figur-figur seperti Daniel Libeskind, Zaha Hadid, Peter Eisenman, Frank O. Gehry, Rem Kohlhaas dan Coop Himmelblau. Hanya sebagai posmodernisme di arsitektur berlangsung sekali sebuah pendekatan yang telah menjadi mandul dan dingin secara formalistik (dan oleh karena itu menawarkan sedikit potensi untuk ekpansi kreatif) – sebuah contoh yang terkemuka adalah Gropius – telah menjalankan kursus ini, sebuah gerakan perlawanan selajutnya dengan referensi kesadaran modernisme klasik, sebuah estetika baru yang bertentangan dengan posmodernisme. Sebagai sebuah paralel terhadap musik yang bukan hanya banyak, namun juga sangat terbukti[3], usaha ini pasti tidak sia-sia untuk mengaplikasikan skema tripartit ini juga ke dalam kesenian.[4] Kita akan berargumen bahwa ini hanya penuh makna untuk membicarakan tentang modernisme kedua jika ini dilihat sebagai sebuah reaksi, respon atau hasil dari situasi posmodern, modernitas kedua di dalam musik adalah percobaan untuk menangani masalah yang tak terpecahkan dari posmodernitas – termasuk yang karena kebutuhan tidak terpecahkan – secara produktif, mengambil prinsip-prinsip estetika dari masa sebelum posmodernitas di dalam jalan yang berbeda dan membuka pintu menunju ke masa depan. Modernitas kedua dengan demikian bukan sebuah penyangkalan atas posmodernitas – yang mana, secara mengejutkan, divalidasi secara rinci dari sudut pandang dari modernitas kedua – ataupun reaksi pertahanan neurotik atau ketidaktahuan yang disengaja. Modernitas kedua hanya dapat masuk akal, setidaknya di dalam kebutuhan anti artistik kita dan fase anti-intelektual, jika ini mengalamatkan isu faktual dengan segala kekuatannya.
Dalam konteks ini, ini sangat menguntungkan untuk menggaris bawahi satu dari sekian banyak pendekatan teori yang produktif untuk estetika modernitas, sesuatu yang memperlakukan ini sebagai perpanjangan aktual ke masa kini(!). Harry Lehmann[5] merekonsrtuksi sejarah seni modern, yang mana diperoleh sistem yang otonom di Renaisans Italia, ketika pembedaan telah dibuat antara seni dan yang bukan seni dan keindahan artistik telah didiskusikan untuk pertama kali, sebagai sebuah sejarah dari proses pembedaan yang progresif melalui tiga komponen fundamental: karya (produk artistik individual), media (“material” [dalam kasus musik berupa: bunyi, nada-nada, ritme, pengorganisiran temporal]) dan refleksi (semantik). Pada modernitas klasik karya dan media terpisah – tonalitas telah ditinggalkan – dan digantikan dengan media baru, dalam setiap contoh, sementara refleksi tetap terikat pada sebuah filosofi yang mendasari, membuat kemungkinan menjadi ahli waris dari Klasisisme. Yang mana modernitas klasik menegasi media, garda depan menegasi karya, yang mana ini terpisah dari refleksi; ini telah dilakukan melalui non-karya dalam urutan untuk membawa refleksi ke keadaan otonom, yang mana adalah bukti seni terkonsep.
Ini terdiri dari bagian-bagian dari modernitas pertama, yang mana ditolak oleh posmodernitas setelah ini terlihat terlalu mengarah kepada pemujaan berlebihan dan seringkali didiskusikan sebagai akhir dari sejarah seni. Jika media dihadirkan sebagai sebuah masalah yang berkepanjangan dan refleksi dibebaskan oleh peghapusan perbudakan dari karya, ini menjelaskan kenapa beberapa komponis menjadi spesialis untuk beberapa area material – Cage untuk chance, Boulez untuk struktur, Stockhausen untuk formula, Grisey untuk Spektrum, Xenakis untuk proses stokhastik, Scelsi untuk musik satu nada, Nono untuk bunyi dan sunyi, Lachenmann untuk noises, Ferneyhough untuk parameter-parameter – dan musik secara mengulang mematahkan batasan indentitasnya sendiri: dari Fluxus, aleatorisme, musikal teater sampai instalasi, percobaan lintas arah, bahkan ontologi-ontologi privat a la Stockhausen. Sampai emansipasi yang meragukan yang datang bersama posmodernitas, oleh karena itu modernitas pertama bekerja melalui sebuah proses yang teliti dari riset ke dalam material, struktur, bentuk dan konsep, yang mana, setelah sampai pada titik tertentu, tak terhindarkan mecapai sebuah fase kelelahan.
Terdapat sebuah hubungan komplementer antara estetika modernitas dan garda depan: sementara yang sebelumnya dicari untuk menjelajah dan memperluas jarak imanen dari kemungkinan-kemungkinan musikal, yang pada akhir mencoba untuk merevolusi karakter performatif, relasi dunia dan kedudukan sosial dari musik. Kita tahu bahwa keduanya tidak dapat direkonsiliasi, dan, selama evolusi dunia mempertahankan logika terarahnya, kita harus hidup dengan ini. Jika posmodernisme, dengan kenakalannya, kebermainannya, Sighfried-like dan tidak terganggu, pragmatik dan penuh dengan kata-kata, anti metafisis – tapi juga secara sederhana reaksioner – alam tidak tampil pada tempat kejadian, orang harus bertanya pada diri sendiri apa yang akan terjadi pada seni modern. Pada beberapa poin material telah sepenuhnya dijelajahi, dan hal-hal yang dicari untuk merubah dunia mau tidak mau putus asa di dunia. Inovasi dan pecahnya akan meledak. Sungguh, bagaimanapun, ada autopoiesis kreativitas manusia yang mengembangkan kelicikan pada saat-saat tertentu di dalam sejarahnya.
Posmodernisme, menurut Lehmann, memberontak melawan orentasi menuju negasi, permasalahan-permasalahan dan ketidakmungkinan dan pematahan tabu-tabu ini; ini menegasi penegasian dari media dengan membuat semua media –dari material, sebagai contoh, semua gaya musik secara historis dan global adalah mungkin. Ini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinann kontingen “tanpa permasalahan”. Karya dan media dengan demikian bersatu, tetapi sebagai sesuatu yang berbeda, untuk keduanya dapat dipilih secara bebas, karena tidak komit, tanpa kehadiran mediasi internal pada ide metafisis dari modernime klasik, sebagai contoh aliran Wina Kedua. Pencapaian historis dari posmodernitas adalah karena pecahnya modernitas yang telah menjadi ortodoks – buta, keras kepala dan tidak produktif – dan, Lehmann berargumen, pengambilan kembali dari media, kali ini bahkan pada otonominya.
Tingkat pelanggarannya menjadi jelas melalui sebuah komparasi dengan dua karakteristik penting dari modernitas “pertama”: Reduksionisme adalah program estetik dari mendasarkan sebuah oeuvre pada kualitas musikal, biasanya adalah keahlian dari masing-masing komponis. Meskipun mengikuti “sound design” mendampingi karya yang dikenali (dan juga dengan komperhensibilitas mereka), ini juga membatasi kompleksitas internal dari hidup karya. Sentrisme terhubung dengan ini: desakan pada “pemikiran yang kuat” yang bertujuan untuk kesatuan, identitas diri dan inner sistematika.
Di musik posmodernitas, pada sisi lain, seseorang menemukan estetika yang terkategorasikan berbeda dan teknik komposisi yang sangat berbeda.[6] Kebanyakan mengikuti dan mengaplikasikan ini: 1. Karya musik posmodern itu hedonistik; ini menunjukan sebuah kenikmatan dari imajinasi kombinasinya dengan kesembronoan yang unik terhadap musik; penerimaannya terjadi dalam mode kenikmatan. 2. Karya musik posmodern adalah naratif; ini menghadirkan naratif musikal, bukanlah komposisi bunyi atau struktur. 3. Karya musik posmodern secara formal sangat heteronom, sebagai contoh, kesulitan masalah dari bentuk terpecahkan, dan ini dicapai melalui sebuah koneksi yang kuat terhadap bentuk-bentuk yang berfungsi dan ada sebelumnya. 4. Karya musik posmodern itu ironis, dan dengan demikian mendorong kejujuran artistik menuju sebuah distorsi dari kejujuran dan memperlihatkan bahwa apa yang dihadirkan adalah tidak dimaksudkan seperti yang seharusnya dihadirkan.
Dalam istilah karya, bagaimanapun, keotonomian material diperoleh – pada pengertian Lehmann – pada posmodernitas adalah tidak otonom, materialnya heteronom pada relasi bentuk dan semantik. Ini secara rinci menjadi masalah utama yang modernitas kedua tidak dapat terima. Fakta bahwa ini adalah material yang asing; dan hanya dapat dikombinasikan secara ironis atau dengan bermain-main, sekarang mempunyai konsekuensi serius pada konstruksi dari musiknya. Ini bekas meta-music, sebuah karya disamping karya asli; semantiknya adalah dangkal, dan secara esensial mengambil pendekatan konseptual dari garda depan, sebagai suatu kebutuhan untuk mengetahui bahwa gaya-gaya musik dipajang tidak pada semestinya, yang mereka katakan sebagai sesuatu yang berbeda. Musik yang dapat dipahami dengan sendirinya adalah tidak mungkin. Dan musik yang dikatakan asli itu juga tidak mungkin. Posmodernitas, dengan semua keasikannya dalam mencoba banyak hal, sebetulnya tidak produktif. Ini adalah salah satu alasan mengapa ini hanya mengaburkan untuk waktu yang sementara (sangat kontras dengan deklarasinya sendiri, yang mana ini menandai proporsi New Testatement).
Untuk sebuah jarak dari alasan yang sangat berbeda, beberapa resistensi terhadap musik posmodernisme berkembang. Pada tahun 1980an sebuah gerakan yang sebelumnya tidak eksis muncul: komposisi kompleks, kompleksitas baru, kompleksisme – semua mencoba memformulasikan kualitas yang baru. Ferneyhough, meskipun hadir pada waktu sebelum posmodernitas, telah memainkan peran mediasi di sini, setelah mengabaikan pemikiran reduksionis pada awal tahun 1980an (dikenali sebagai mode komposisi dari Nono, Feldman, dan secara bertahap memeram Lachenmann pada waktu yang bersamaan) mendukung gaya multi perspektif meskipun mempertahankan aspek sentralisme dalam bentuk “gaya pribadi”.
Meskipun kompleksisme kemungkinan tidak hanya manifestasi dari modernitas kedua, ini dapat digunakan untuk mengilustrasikan atribut-atribut esensialnya. Sejauh material diperhatikan, progres dapat menentukan peran sekali lagi; mikrotonal, ritme yang kompleks, konstruksi formal bertingkat, poly-works, live electronic, komposisi yang didampingi oleh komputer, keseluruhan spektrum bunyi dan noise, permainan teknik hibrida. Sebagai sebuah gaya, tujuannya adalah sebuah keotonomian, bahasa personal yang kohesif di dalam diri sendiri daripada mengkombinasikan bahasa yang asing sebagai kolase-kolase. Sejauh citra diri diperhatikan, tujuannya untuk sebuah musik yang relefan terhadap zaman kita, yang mempunyai sebuah karakter dari dirinya dan tidak mengikuti selera audiens, yang mana secara alamaiah konservatif. Modernitas kedua dengan demikian anti karir, oposisi, dan otonom.
Ini hampir menjadi sebuah pendefinisian karakter dari modernitas kedua yang dikenali dari teknik komposisi yang dikembangkan – atau dari fakta bahwa ini merehabilitasi teknik komposisi per se. Untuk itu kembali kepada pertanyaan (perlu) dihindari oleh posmodernisme, yaitu bagaimana bentuk musik dapat dihasilkan dari bahan yang harus terlebih dahulu diproduksi untuk asal-usul formalnya – atau, untuk menempatkan secara berbeda: bagaimana material dan bentuk dapat diperhatikan secara internal, bukan hanya sesederhana secara meta linguistik. Itu sudah dan tetap menjadi pertanyaan besar dari musik modern secara keseluruhan, yang mana mengambil kerugian dari pemberian metafisik pada dirinya sendiri karena ini tidak mempunyai pilihan lain, dan karena ini secara rinci di dalam karya ini ia melihat kemungkinan untuk menulis karya baru yang sesungguhnya (bukan sekedar musik second-hand).
Pada model teori Harry Lehmann, ini berarti bahwa karya itu , dinegasi oleh garda depan, sekarang telah dipulihkan, seperti halnya material di posmodernitas. Modernitas kedua menegasi penegasian karya. Perjuangannya untuk membuat karya-karya lagi adalah sebuah ekspresi dari ketelitian yang bertujuan secara teknis: bahwa material dan bentuk harus sekali lagi membentuk sebuah kesatuan yang kohesif, yang mana dapat dikatakan diadaptasi ke masing-masing, atau, untuk ditempatkan secara berbeda: bahwa kesatuan harus dibentuk. Karya tidak lagi dan tidak lebih dari sebuah pengisian-bentuk, pengaplikasian otonomi dari material di waktu musik. Ini menjelaskan mengapa sekali lagi karya-karya ditulis – dan bukan hanya oleh posmodernist.
Modernitas kedua bagaimanapun, tidak, merupakan sebuah regresi kepada keadaan sebelum penegasian karya; ini tidak mencari untuk melupakan apa yang terjadi. Tetapi ini juga diketahui bahwa non-karya tidak dimuliakan untuk selama-lamanya; berbagai zaman non-karya ini dan diterima begitu saja sebagai bagian dari musik (seperti hal lainnya), tetapi ini menghilangkan sengat yang ditimbulkan oleh garda depan. Lalu, apa, spesialnya tentang modernitas kedua yang mengklaim dirinya unuk menawarkan inovasi yang asli, tidak sesederhana versi penyempurnaan dari konstruksi ideal “klasikal”?
Modernitas kedua berusaha untuk membuat multi-perpektif, sebagai contoh, karya-karya non-reduksionis (yang telah hampir tidak mungkin pada standar modern sejak Perang Dunia Kedua) dan mengolah gaya integral yang ideal. Tetapi ini dipelajari di modernitas klasik, garda depan, dan secara luar biasa terlihat seperti – juga dari posmodernitas: tiga dimensi dari pembedaan yang diperiksa oleh Lehmann – karya, media dan refleksi – tidak lagi membentuk sebuah kesatuan, seperti Schoenberg telah berharap, tetapi ada dalam diferensial, orang bisa mengatakan hubungan dekonstruktif antara satu sama lain. Setiap area dapat memperoleh dominasi parsial tergantung pada penekanan, intensitas, tradisi dan selera. Tidak dapat disangkal – dan ini menjadi substansial, sebagai contoh, konstruktif dan dikonstruksi; perbedaan dapat diidentifikasi sendiri secara teknis. Modernitas kedua dengan demikian tidak sesederhana versi kedua dari sesuatu yang familiar.[7]
Diterjemahkan dari judul asli “Second Modernity – An Attempted Assessment” dalam buku “Facets of the Second Modernity” diterbitkan oleh Wolke Verlag, Hofheim. Edisi pertama (2008).
[1] Lihat catatan kaki no. 5
[2] Heinrich Klotz, Kunst im 20. Jahrhundert. Moderne – Posmoderne – Zweite Moderne (Munich: C.H. Beck Verlag, 1994).
[3] Lihat Claus Steffen Mahnkopf, “Architektur und neue Musik,” in Musik und Architektur, ed. Christoph Metzger (Saarbrücken: Pfau Verlag, 2003), pp.82-97.
[4] Ini diperkuat oleh karakterisasi Josef Häusler terhadap Ferneyhough sebagai “pertanda dari modernisme kedua” (Spiegel der neuen Musik: Donaueschingen. Chronik – Tendezen – Werkbesprechungen [Stuttgart: Metzler Verlag, 1996, p. 354). Lihat juga Claus Steffen Mahnkopf, “Neuen Musik am Beginn der Zweiten Moderne,” in Merkur 594/595 (1998), pp. 864 – 875; “Thesen zur Zweiten Moderne,” in Musik & Ästhetik 36 (2005), pp. 81-91; “Die Zweite Moderne als kompositorische Praxis. Oder: Was misch mit Steven Kazuo Tkasugi verbindet,” in Orientirungen. Wege im Pluralismus der Gegenwartmusik, ed. Jorn Peter Hiekel (= Veröffentlichungen des Institutes fur neue Musik und Musikerziehung Darmstadt, Vol. 47) (Mainz; Schott Verlag, 2007). Lihat juga artikel “Zweite Moderne und Musiktheater” in Musik & Asthetik 30 (2004) oleh Peter Ruzicka (pp. 81-92), yang membuat “modernisme kedua” menjadi tema dari New Music section dari Salzburger Festspiele di tahun 2005.
[5] Harry Lehman, “Avant-Garde Today. A Theoritical Model of Aestethic Modernity,” di Claus Steffen Mahnkopf, ed., Critical Composition Today (= New Music and Aestethics in the 21st Century, vol. 5), (Hofheim: Wolke Verlag, 2006), pp. 9-42.
[6] Lihat Claus Steffen Mahnkopf, “Theorie der musikalischen Postmoderne,” in Musik & Äesthetik 46 (2008), pp. 10-32.
[7] Ketika seseorang telah mengadopsi perspektif dari modernitas kedua (dengan demikian emansipasi salah satu diri baik dari modernitas pertama dan posmodernitas). kemungkinan-kemungkinan epistemologi baru muncul: pertamma, seseorang dapat bertanya apakah figur-figur terdahulu mungkin mengantisipasi beberapa karakter dari modernitas kedua. Kemudian Nono, yang mana pada waktu itu terlihat mengambil cara-cara posmodern, secara tiba-tiba menjadi pelopor modernitas kedua. Yang kedua, mengatasi keanehan filosofi sejarah posmodernitas memungkinkan kita untuk melihat bahwa setiap cara berpikir tentang seni adalah sangat mempunyai arti sejarahh yang mendalam, dan bahwa untuk setiap pertanyaan yang diajukan disini harus diambil ketika ini ditanyakan dan di dalam horizon historis yang mana seseorang menganggap untuk menjawabnya. Oleh itu saya akan berargumen untuk sebuah pengembalian yang radikal menuju kepada cara berpikir historis yang internal. Ini menentukan untukpencerahan diri modernitas kedua: sebagai mana ini tetap dalam proses untuk menjadi, ini membuat perbedaan besar apakah ini dirumuskan pada tahun 2000, 2005 atau 2010.