top of page

QUATOUR BOZZINI DAN 4 KOMPONIS MUDA INDONESIA.

                 Pada tanggal 10 Agustus 2018 telah diadakan sebuah lokakarya dan juga konser di Salihara yang menghadirkan sebuah grup kwartet gesek dari Kanada. Grup kwartet ini bernama Quatour Bozzini, grup kwartet gesek ini merupakan salah satu grup kwartet gesek terkemuka dunia dalam spesialisasinya untuk memainkan karya-karya musik eksperimental maupun karya-karya musik dengan gramatika yang baru disamping grup-grup kwartet gesek terkemuka lainnya seperti Arditti, Quatour Tana, Kronos.

                 Pada pementasan ini Salihara bukan hanya mengundang Quatour Bozzini, namun Salihara juga memberikan commission work kepada empat komponis muda Indonesia untuk membuatkan karya baru khusus untuk pementasan Quator Bozzini di SIP Fest 2018 yang diselenggarakan oleh Salihara. Keempat komponis muda ini adalah M. Arham Aryadi, Matius Shanboone, Marisa Sharon Hartanto, Stevie Jonathan.

                  Pada pementasan ini mereka memulainya dengan memainkan karya dari Stevie Jonathan, sebuah karya yang berjudul “In Memory” untuk kwartet gesek, modified singing bowl, lampu LED dan komputer. Karya ini didedikasikan untuk para korban terorisme, yang mana keempat singing bowl secara metaforis merepresentasikan “jiwa” dari korban-korban terorisme dan pemain kwartet gesek merepresentasikan manusia yang memiliki perhatian terhadap ini. Dengan menggunakan data jumlah korban terorisme sejak 1972-2016 Stevie membuat sebuah program pada komputer yang merespon setiap pukulan pada singing bowl dan kembali direpresentasikan menjadi bunyi. Semakin cepat singing bowl dipukul, maka semakin melambat data korban terorisme yang Stevie masukkan ke dalam computer berjalan, begitu juga yang secara tersirat ingin Stevie sampaikan, semakin kita “menghalau” terorisme, maka akan semakin sedikit korban yang akan berjatuhan akibat isu ini.

                  Karya kedua yang dimainkan adalah karya dari Marisha Sharon Hartanto yang berjudul “Bali Miniatures”, sebuah karya yang terinspirasi dari Bali, yang direpresentasikan kembali dalam bentuk musik. Karya ini terdiri dari 6 bagian: matahari, gamelan, Monyet Ubud, Kecak dan Hanoman, rindik dan sunset, serta gelombang yang merupakan sebuah representasi dari pengalaman perjalanan komponis di pulau Bali. Karya ini banyak mengimitasikan titi nada gamelan Bali yang dimodifikasi sedemikian rupa. Selain itu Marisa juga dengan apik memanfaatkan setiap kemungkinan dari masing-masing instrument, ia juga memanfaatkan perluasan teknik dengan apik untuk merepresentasikan bagian akhir dari karya ini yaitu dengan menggunakan teknik seagull effect dan gesekan tanpa nada yang hanya menghasilkan karakter “noise” yang lembut untuk merepresentasikan gelombang dan burung camar di tepian pantai.

                  Karya ketiga yang dimainkan adalah karya dari Arham Aryadi yang berjudul “Counter Noise No. 3”, karya ini merupakan karya yang mengkombinasikan dua elemen antara bunyi dan “noise”. Pada karya ini Arham juga mengimplementasikan konsep spasialisasi gamelan kedalam format kwartet gesek. Secara sepintas jika kita melihat dan mendengarkan karyanya yang menggunakan prepared strings dan banyak menggunakan perluasan teknik maka kita akan terbawa pada model bebunyian yang Helmut Lachenmann usung yaitu musique concrete instrumentale yang mana setiap instrument dimainkan dengan cara yang tidak biasa untuk membuka “horizon” bunyi yang lebih luas dengan perwujudan menggunakan perluasan-perluasan teknik yang digunakan. Namun, apa yang terjadi pada karya Arham sangatlah berbeda, ia menggunakan semua “modifikasi” bunyi itu bukan seperti yang Lachenmann lakukakan, tetapi untuk merepresentasikan kearifan lokal ke dalam kwartet gesek, yang mana senar-senar yang dimodifikasi tersebut merepresentasikan karakter bunyi dari tarawangsa.

                   Karya selanjutnya adalah karya dari Matius Shanboone yang berjudul “String Quartet No. 2”, seorang komponis muda Indonesia yang aktif dan sering mendapatkan penghargaan dari berbagai kompetisi komposisi. Pada kesempatan kali ini ada yang sedikit berbeda dengan kebiasaan Matius dalam membuat karya. Di dalam karya ini Matius tidak banyak lagi menggunakan unsur “eksperimental” maupun banyak menggunakan perluasan teknik instrument.

                   Pada karya ini Matius mencoba mengaplikasikan topik riset Doktoralnya yang mengangkat tentang unsur repetisi. Di dalam karya ini dia berangkat dari 1 materi yang bersifat repetitive yang ia modifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah diorama yang apik, seperti ketika kita menonton karya dari Yayoi Kusama yang berjudul “Infinity Mirror Room” yang mana materi yang kecil menjadi sangat kompleks dan indah ketika terefleksi ulang di dalam cermin-cermin di sekelilingnya. Namun, sedikit perubahan pada gaya kekaryaan Matius ini tidak dapat kita artikan secara “negative”, justru bisa jadi ini adalah sebuah proses kedewasaan yang sudah ia lalui setelah mengalami banyak perjumpaan dengan berbagai latar belakang kebudayaan. Dan pergeseran gaya merupakan hal yang lumrah dikalangan komponis, seperti halnya yang terjadi pada Leo Brouwer serta banyak komponis lainnya.

                   Pementasan ditutup dengan karya dari James Tenney yang berjudul Koan, James Tenney adalah komponis yang berasal dari Amerika, ia banyak mengeksplor tentang interval-interval mikro dan juga kecendrungan konsep spektral. Pementasan ini merupakan sebuah pementasan yang menarik dan sangat apik, bukan hanya karena dari segi kualitas pemainnya yang memang hebat, tetapi juga dari beragam dan uniknya model-model karya yang dimainkan. Semoga ke depan akan lebih banyak hal-hal seperti ini terjadi.

SEPTIAN DWI CAHYO
CITAYAM, 11 AGUSTUS 2018

bottom of page