KALEIDOSKOP BERMUSIK (sebuah catatan pribadi)
Dalam rentang waktu satu tahun ini saya cukup sering mengembara dan menemukan hal-hal menarik di ranah musik yang saya geluti. Satu tahun lalu saya mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Austria untuk yang kedua kalinya, kali ini dalam rangka melakukan sebuah proyek yang berkaitan dengan musik dan algoritma. Selama 9 bulan saya di sana, saya menemui banyak hal, utamanya yang berkaitan dengan musik.
Di fase awal saya banyak mempelajari tentang hubungan musik dan algoritma di bawah bimbingan guru saya yang bernama Gerhard Nierhaus. Pengalaman ini memang bukanlah pengalaman pertama saya bersinggungan dengan topik tersebut, namun kali ini saya lebih dalam mempelajari tentang topik ini. Ada banyak hal yang saya pelajari, mulai dari sejarah tentang komputasi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan musik hingga topik-topik yang menukik tajam pada hubungan musik dan algoritma, khususnya bagaimana algoritma digunakan untuk membuat musik.
Hal yang juga menarik adalah diskusi saya dengan pembimbing saya tentang bagaimana algoritma semestinya digunakan dalam membuat musik. Ia selalu menekankan bahwa algoritma hanyalah sebuah media, selalu berusahalah untuk menggunakan algoritma untuk merealisasikan idemu, bukan membunyikan algoritma yang sudah ada. Lewat diskusi ini akhirnya saya menemukan sebuah algoritma yang tepat untuk merealisasikan ide saya, yaitu dengan memanfaatkan Markov Model yang biasa digunakan untuk memprediksi “masa depan” berdasarkan data masa lalu. Di sini Markov saya gunakan untuk membuat pola baru atas data pola-pola tradisi di musik gamelan. Pola-pola baru tersebut kemudian saya gunakan di karya baru saya.
Selain fokus utama saya tinggal di sana untuk merealisasikan ide tersebut, saya juga berkelana untuk mempelajari hal-hal lain seperti mempelajari metode komputasi untuk menganalisis musik. Hal ini adalah sesuatu yang baru untuk saya, dimana saya harus mempelajari hal-hal dasar bahasa pemrograman phyton yang digunakan di music21 untuk menganalisis musik berdasarkan data partitur. Metode ini sangatlah efektif untuk digunakan untuk menganalisis materi-materi musik di dalam sebuah partitur, proses analisis menjadi lebih cepat dan presisi, utamanya untuk menganalisis data dalam jumlah besar. Selain metode analisis dengan bahasa phyton, saya juga mempelajari bagaimana menganalisis musik berdasarkan data rekaman dengan memanfaatkan perangkat lunak lainnya yang bernama Sonic Visualiser.
Di sela-sela kegiatan yang sudah saya singgung di atas, saya juga belajar tentang musik multimedia. Di kelas musik multimedia tersebut saya tidak hanya mempelajari tentang musik semata. DI kelas itu kami belajar tentang sejarah teknik di filem yang berhubungan dengan produksi bunyi, sejarah hubungan antara musik dan visual hingga beberapa metode analisis musik multimedia dari beberapa tokoh seperti dari Nicholas Cook, Shin Ichiro Iwamiya dan juga metode yang guru saya sendiri tawarkan. Metode ini nantinya membuat makalah saya terpilih untuk dipresentasikan di Konferensi Masyarakat Musik Elektroakustik Korea. Selain itu di kelas ini banyak membahas topik-topik lain yang berhubungan dengan musik elektronik, seperti fenomena estetika pasca modern di musik elektronik hingga discourse theory dari Michel Foucault.
Selalu belajar tentu membosankan, di waktu-waktu tertentu saya sempatkan untuk menonton konser. Ada sebuah konser yang cukup berkesan bagi saya, yaitu potret konser dari legenda hidup yang bernama Brian Ferneyhough. Saya cukup intens mendengar karya-karyanya di fase awal studi komposisi saya dan terkesima dengan kompleksitas dari karyanya. Partitur karyanya yang sangat kompleks dan pada saat itu saya masih bingung sekali bagaimana membacanya.
Potret konser ini bukan hanya menyuguhkan musiknya, namun juga menghadirkan beliau untuk memberi semacam kuliah umum. Yang membuat saya kagum adalah ketika semua orang sudah menunggu kehadirannya dengan hening dan penuh antusias. Keheningan itu seketika pecah ketika Ferneyhough membuka pintu ruangan, seperti para pengikut yang menyambut “nabi” nya dengan penuh riang gembira. Saya juga cukup beruntung bisa menyapanya dan mendapatkan kesempatan untuk berfoto dengan beliau.
Singkat cerita, proyek saya pun selesai dan harus kembali ke Indonesia. Ditengah-tengah kegiatan saya selama di Indonesia, saya setiap hari berselancar di internet untuk mencari-cari informasi terbaru, khususnya tentang musik. Satu ketika saya menemukan panggilan terbuka untuk mengirimkan usulan makalah, panggilan terbuka ini diadakan oleh Konferensi Masyarakat Musik Elektroakustik Korea. Setelah saya membaca semua ketentuan, saya pun memutuskan untuk mengirim proposal ide makalah, dan berakhir dengan pengumuman bahwa ajuan topik makalah saya lolos untuk dipresentasikan di konferensi tersebut.
Makalah saya kali ini adalah tentang cara membedah karya musik multimedia yang melibatkan media lain (non musik), serta hal apa saja yang bisa didapatkan dari situ dan tidak bisa ditemukan di musik instrumental. Di dalam makalah ini saya menggunakan karya dari Donny Karsadi sebagai objek analisis dan menggunakan metode guru saya Marko Ciciliani untuk membedahnya. Ada banyak hal menarik yang saya dapat, seperti kecocokan semantik antara suara yang dihasilkan oleh komputer dan teks yang diproyeksikan ke layar. Hal ini juga sangat cocok dengan konsep Gehalt yang ditawarkan oleh Harry Lehmann, dimana Gehalt tersebut adalah sebuah konten yang harus diinterpretasi dan Gehalt tersebut hanya bisa tercipta melalui musik relasional.
Musik Relasional yang juga cocok disebut dengan musik multimedia (hanya beda istilah) sendiri berbeda dengan musik program. Di dalam musik program semua ekstra musikal (teks, visual, dan lainnya) ditransfer menjadi bentuk musik, seperti kesan kepakan sayap lebah yang ditransfer menjadi materi musik (pola ritme dan nada-nada kromatis) di dalam karya The Flight of Bumblebee. Musik Relasional sendiri mempertahankan relatum musikal (teks, visual dan lainnya) menjadi bentuknya sendiri, dan hubungan antar media ini mampu menciptakan Gehalt.
Sebagai contoh di karya Theory of Subject dari Trond Reinholdtsen, karya dibuka dengan garamatika musik yang dekat dengan era klasik, namun secara bersamaan terdapat teks berjalan yang di proyeksikan. Teks tersebut kira-kira seperti berikut: “bagi penonton yang tidak terdidik, bunyi-bunyi ini hanyalah kitsch semata” sembarii musik terus berjalan. Sekilas tidak ada yang spesial, namun jika didalami lagi, kombinasi antar media bunyi dan teks itu membawa pesan ejekan!. Sebetulnya kebanyakan pendengar yang punya pengetahuan mumpuni tentang musik barulah yang akan mengatakan bunyi-bunyi tersebut sebagai sebuah materi yang kitsch di dalam musik baru!.
Beruntung, makalah saya yang menganalisis karya dari Donny Karsadi terpilih untuk diterbitkan di Jurnal Emille vol. 18 bersama dengan makalah-makalah lain dari tokoh-tokoh di bidang musik elektronik. Jurnal emille sendiri berfokus pada isu-isu tentang musik elektroakustik dan sub-subnya, mulai dari topik sonifikasi visual ke bunyi hingga topik seputar gamified music.
Sekitar satu bulan setelah konferensi tersebut, saya pun menerima sebuah pesan, undangan untuk ikut rapat online tentang acara komponis dan musisi muda. Seperti biasa, saya pasti akan hadir selama jadwal tidak bentrok. Ketika masuk ke dalam ruang rapat online tersebut, saya cukup heran, kenapa hanya saya yang paling muda diantara yang hadir? . Hanya ada empat orang: Dieter Mack, Peter Veale (anggota dari ansambel Musikfabrik), Anothai Nitibhon (ketua program acara), dan saya.
Dalam diskusi tersebut, Anothai dan Peter menanyakan kesediaan saya untuk membuat karya baru dan berkolaborasi dengan beberapa musisi dari wilayah Asia Tenggara. Setelah mereka memberitahukan perihal teknis, saya pun menyanggupinya. Dalam proses pembuatan karya, saya berkolaborasi dengan 3 musisi yang memainkan alat musik non orkestra (tradisi) dari wilayah Asia Tenggara. Yang membedakan acara ini dari yang sebelum-sebelumnya adalah komponis dan musisi harus bekerjasama untuk menemukan hal-hal baru yang bisa dimainkan di instrumen-instrumen dari wilayah Asia Tenggara tersebut. Komponis akan memakainya di dalam karya, dan musisi akan menuliskan tentang teknik-teknik baru temuan mereka. Selain menulis tentang temuan kita, komponis dan musisi pun diwajibkan untuk mempresentasikan temuan-temuan mereka di akhir acara1
Hal ini sangatlah menarik, dimana temuan-temuan kami dapat menjadi sebuah arsip yang bisa digunakan sebagai refrensi oleh komponis , musikolog, etnomusikolog, peneliti musik untuk mencari tahu tentang kemungkinan baru yang bisa dimainkan oleh instrumen-instrumen tersebut. Saya membayangkan proyek yang sama diterapkan terhadap instrumen-instrumen musik tradisi di nusantara, pasti akan ada banyak temuan teknik-teknik permainan baru dari instrumen-instrumen di nusantara, yang bisa membuka ruang bunyi baru!.
Selepas acara itu, saya mendapat sebuah konfirmasi lain dari Peter Veale, karya kwartet gesek saya akan dimainkan oleh Das LandesJungendEnsemble für Neue Musik (Youth Ensemble for Contemporary Music) di Kiel, Jerman. Das LandesJungendEnsemble für Neue Musik adalah ansambel terpilih dari instrumentalis muda terbaik dari Schleswig-Holstein. Dengan ansambel ini, Dewan Musik Negara di Schleswig-Holstein mempromosikan musisi muda papan atas, terutama di bidang musik kontemporer. Saya jadi berkhayal lagi, bagaimana jika dewan kesenian kota di Indonesia mempunyai program seperti ini, pasti akan sangat menarik!. Program regenerasi musisi, khususnya mencetak musisi masa depan yang tangguh dalam memainkan repertoar-repertoar musik baru.
Pengalam-pengalaman yang saya tuliskan ini hanyalah berdasarkan pengalaman pribadi saya. Ada banyak hal menarik yang terjadi di beberapa belahan dunia, khususnya yang berhubungan dengan musik. Setiap wilayah punya wacana musiknya masing-masing, dan ewat musik, saya seperti melihat miniatur dunia, melihat bagaimana hal-hal menarik terjadi di musik. ;ulai dari program Das LandesJungendEnsemble für Neue Musik dengan tradisi musik kontemporer Eropa, ASEAN Youth Ensemble dengan tradisi musik di wilayah Asia Tenggara hingga pengalaman persentuhan musik dan teknologi. Saya seperti merasa hidup di beberapa alam yang berbeda. Seperti katak yang hidup di air dan di darat.
SEPTIAN DWI CAHYO
di depan laptop
14 Januari 2021
1https://www.facebook.com/PGVIMSYMPOSIUM/videos/778486503018490
https://www.facebook.com/PGVIMSYMPOSIUM/videos/321707495887742